Tinggal hitungan bulan saja Oscar 2026 akan segera digelar. Panitia sebaiknya mempertimbangkan banyak hal yang menjadi evaluasi penonton saat gelaran Oscar 2025.Â
Salah satunya adalah penggunaan AI dalam keaktoran yang ditengarai terjadi pada Adrien Brody dalam film The Brutalist.Â
Sebelum Oscar 2025 dilaksanakan, sebagian pihak melayangkan protes agar Adrien dicoret dari daftar nominasi. Namun keriuhan ini nampaknya tidak terlalu berpengaruh pada Oscar voter, yang malah membawa Adrien memenangkan kategori "Best Actor in a Leading Role".
Adrien Brody dan aksen Hungaria
Apa sih yang sebetulnya diributkan? Ya, penggunaan teknologi AI (Artificial Intelligence) untuk memoles aksen Hungaria sang aktor.
Kalau kamu pernah nonton film dengan karakter asing yang aksennya "nggak nyampe", pasti rasanya agak janggal. Aksen itu bukan sekadar gaya bicara. Dia membawa nuansa, latar budaya, bahkan emosi karakter.Â
Adrien Brody dan pemain utama lainnya, Felicity Jones, kabarnya sudah latihan keras bareng pelatih dialek. Tapi saat proses ADR (pengisian ulang dialog), hasilnya belum maksimal.Â
Masuklah Respeecher, teknologi AI asal Ukraina, yang bisa menyempurnakan pelafalan dan intonasi. Sang editor film, Dvid Jancs, bahkan menyumbangkan suaranya sendiri ke sistem AI untuk bantu menyempurnakan dialog berbahasa Hungaria. (IndieWire, Feb 2025)
Hasil akhirnya? Aksen Brody terdengar lebih otentik, katakanlah lebih "Hungaria", meski sebagian suara itu sebenarnya bukan miliknya.
Merespons kontroversi ini, sutradara Brady Corbet menegaskan bahwa performa Brody tetap asli. AI hanya membantu di bagian teknis, bukan menggantikan ekspresi atau emosi.Â
Walau begitu, tetap saja ini memunculkan satu pertanyaan. Kalau suara aktor sudah dipoles mesin, apakah kita masih menonton performa "murni"?
Di satu sisi, ini bisa dianggap sebagai bagian dari proses kreatif. Ya sama halnya dengan color grading atau sound mixing, AI jadi alat bantu untuk menyempurnakan hasil akhir. Tapi di sisi yang lain, hal ini juga bisa mengaburkan batas antara seni dan manipulasi.
Apalagi kalau sampai digunakan untuk "memperbaiki" emosi, ekspresi, atau bahkan mengganti suara aktor sepenuhnya. Di titik itu, seni peran bisa kehilangan ruhnya.
Dunia akting di era teknologi
Teknologi AI dalam film sebetulnya bukan hal baru. Kita sudah lihat wajah digital, karakter CGI, bahkan aktor yang "dihidupkan kembali". Manoj Punjabi misalnya tetap menginginkan Reza Rahadian untuk berperan menjadi Habibie muda dalam Habibie & Ainun 3 (2019).
Namun karena secara proporsional tubuh tidak memungkinkan, ia menggunakan aktor lain untuk berakting, istilahnya body double. Hasilnya akting Reza Rahadian dan aktor tersebut digabungkan dengan teknologi. Yang kita lihat di layar adalah benar muka Reza Rahadian, tapi badannya bukanlah badan Reza.
Namun kasus Brody ini sedikit berbeda karena menyentuh aspek yang sangat personal yakni suara.
Bayangkan kalau ke depan, aktor bisa bicara dalam 10 bahasa asing tanpa belajar, cukup lewat AI. Praktis? Iya. Tapi apakah itu masih seni peran?
Menurut saya selama AI digunakan sebagai alat bantu, bukan pengganti, sebetulnya kita masih berada di jalur yang sehat. Tapi transparansi itu penting, sejauh mana AI ikut berkontribusi terhadap akting sang aktor.
Penonton apalagi juri festival berhak tahu sejauh mana performa yang mereka tonton adalah hasil kerja aktor. Dan sejauh mana yang merupakan hasil kerja mesin.
Sebagai contoh, melalui situs resminya (Sept 2025), Respeecher melakukan breakdown sejauh mana penggunaan AI dalam aksen Adrien Brody. Artikel tersebut sebagai bentuk transparansi sekaligus juga jawaban akan kontroversi yang terjadi selama ini.Â
Kasus Adrien Brody ini bisa jadi contoh baik. AI digunakan untuk memperkuat, bukan menggantikan. Tapi tetap perlu diawasi. Karena kalau seni peran sudah bisa "diperbaiki" lewat teknologi, kita harus siap menghadapi pertanyaan baru soal keaslian, penghargaan, dan batas kreativitas.
Intinya, saya selalu percaya bahwa perkembangan teknologi itu suatu keniscyaan. Yang terpenting tetap menghargai proses manusia di baliknya. AI boleh jadi bantu banyak hal, tapi jangan sampai menghapus jejak emosi, usaha, dan rasa yang jadi inti dari seni.
Karena aksen mungkin bisa dipoles, tapi rasa... itu urusan manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI