Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

3 Hal Utama yang Harus Dipertimbangkan ketika Memilih Caleg Artis

3 Maret 2024   16:11 Diperbarui: 7 Maret 2024   09:33 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berturut-turut dari kiri ke kanan, Uya Kuya, Verrel Bramasta, Nafa Urbach, caleg artis yang diprediksi lolos ke Senayan/doc. promediateknologi

Aktivitas saya di bidang industri kreatif terutama film, boleh dikatakan bersinggungan dengan para artis atau pekerja seni di dalamnya. Entah itu aktor film, pemain sinetron, hingga penyanyi. Dari aktivitas ini, sedikit banyak saya bisa ngobrol dengan mereka tentang banyak hal.

Hasil dari obrolan tersebut, membawa perspektif bahwa para artis pun punya kepedulian akan masalah sosial budaya ekonomi yang terjadi di negeri ini. Walau tak semua artis saya nilai demikian.

Sehingga ketika sederetan artis berusaha masuk Senayan sebagai anggota dewan lewat pemilihan umum (Pemilu), saya tak lantas under estimate. Saya tetap menghargai bahwa menjadi calon legislatif (caleg) adalah hak semua warga negara tanpa memandang profesi apapun yang disandang sebelumnya.

Tapi saya pun tidak memungkiri, bahwa kebanyakan partai politik menggaet artis hanya sebagai vote getter semata.

Saya pernah terpapar satu potongan video Chico Hakim, juru bicara pasangan Ganjar-Mahfud, ketika mengomentari peristiwa keluarnya Maruarar Sirait dari PDIP.

Mantan suami Wanda Hamidah tersebut mengungkapkan bahwa PDIP biasa saja menanggapi keluarnya Maruarar sebagai kader partai yang pindah ke kubu sebelah. Ia menambahkan bahwasanya mungkin PDIP akan lebih berat jika ditinggalkan Krisdayanti.


Alasannya sederhana karena Krisdayanti punya suara yang lebih tinggi dibanding Maruarar. Lebih lanjut Chico menegaskan yang paling utama dicari partai adalah jumlah suara.

Kehadiran artis sebagai caleg, terutama artis yang memang sudah populer dalam skala nasional, seperti penyanyi Krisdayanti, tentu punya modal popularitas yang bagus untuk menggaet suara rakyat. Dan ini terbukti.

Dalam debut perdananya sebagai caleg pada Pemilu 2019, Krisdayanti berhasil meraup lebih dari 130 ribu suara di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur V.

Pertanyaannya, kenapa masyarakat begitu mudah memilih caleg artis?

Sederhana saja, masyarakat akan cenderung memilih yang mereka kenal dibanding yang tidak mereka kenal. Tentu minimnya kehadiran caleg non artis di masyarakat, turut andil dalam hal ini. Sehingga kehadiran artis menjadi alternatif ketika masyarakat kebingungan dalam memilih caleg.

Saya juga pernah memilih caleg artis pada Pemilu 2019. Tapi bukan karena bingung. Saya tetap memperlakukan caleg artis sama dengan caleg lainnya. Saya tetap melakukan penelusuran atau background check ketika memilih caleg. Soal siapa caleg artis yang saya pilih, jawabannya ada di akhir tulisan ini.

Berikut beberapa pertimbangan yang saya lakukan hingga akhirnya saya memutuskan memilih caleg artis:

Pertama soal latar belakang pendidikan. Saya memilih caleg yang memiliki pendidikan minimal S2. Tanpa mengesampingkan caleg lain yang memiliki pendidikan lebih rendah dari S2, saya merasa bahwa pendidikan itu sangat penting. Terutama kaitannya dengan pola pikir.

Di Senayan nanti, para caleg ini akan lebih banyak menggunakan otak dan pikirannya untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang tentunya harus berpihak pada rakyat. Nah, hasil dari pikiran mereka ini adalah suara-suara mereka di parlemen yang seharusnya bisa kita dengar. 

Sayangnya, kita bisa melihat bahwa kebanyakan caleg artis yang sudah duduk di Senayan hampir tidak pernah terdengar suaranya. Saking tidak pernah terdengar suaranya, suara Mulan Jameela soal kompor listrik saja menjadi viral dan mendapat pujian dari masyarakat.

Masyarakat bilang, "ya yang penting ada ide atau suaranya". Serendah itukah bare minimum kita terhadap caleg artis?

Tapi ya benar adanya. Saking kita kesulitan mendapatkan kesempatan ngobrol langsung (selain saat kampanye), sulit menemukan statement caleg artis yang bisa kita nilai, atau pemikiran-pemikirannya yang tertulis sesederhana dalam blog atau web pribadi, membuat kemunculan suara Mulan Jameela seakan angin segar.

Nah, kalau kesulitan mencari pemikiran caleg artis, seenggaknya bisa menjadikan latar belakang pendidikan menjadi salah satu parameter yang bisa dipertimbangkan.

Kedua tentang track record keartisannya. Yang saya maksud track record di sini bukan hanya soal karya mereka yang banyak dan disukai, tapi juga korelasinya terhadap gagasan yang ia bawa selama menjadi caleg.

Kita tahu pelawak Uya Kuya adalah pelawak yang terkenal dengan hipnotisnya. Tapi apakah sebelum ini ia pernah menyuarakan soal-soal sosial di masyarakat? Atau pernah ia menelurkan karya yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat banyak?

Atau emak-emak yang saban hari nongkrongin televisi, pasti kenal dengan pemain sinetron muda Verrel Bramasta. Apakah ia pernah turut serta memberikan pendapat soal konflik Palestina-Israel misalnya? I think, No! Aktivitas Verrel di media sosial dipenuhi oleh konten joget. 

Lantas karya artis yang seperti apa yang memiliki korelasi?

Kebanyakan caleg artis memang difokuskan di Pulau Jawa, karena lebih dari 50% pemilih ada di pulau ini. Tapi di luar Jawa ada contoh caleg artis yang bisa dipertimbangkan. Ia adalah sutradara dan penulis naskah Ari Sihasale yang mencalonkan diri di dapil Papua Tengah.

Kalau kita melihat filmografinya, Ari Sihasale punya kepedulian terhadap masalah-masalah di Indonesia Timur, terutama soal pendidikan dan kesetaraan. Kita bisa melihatnya dalam film-film seperti Tanah Air Beta, Di Timur Matahari, Rumah Merah Putih, dan Denias, Senandung di Atas Awan.

Gagasan yang Ari bawa ingin memajukan Papua (dan Indonesia Timur) sudah tercermin dalam karya-karyanya sebelum ia menjadi caleg. Dan tentu sangat mudah bagi masyarakat untuk mempercayai gagasan yang dibawa suami artis Nia Zulkarnaen ini.

Selain soal karya, track record keartisan bisa juga dinilai dari kehidupan pribadi sang artis di media sosial. To be honest, saya tidak akan pernah memilih caleg artis yang pamer saldo ATM, yang pernah terlibat kasus kriminal hingga berbuah putusan hukum, atau yang memiliki jejak kontroversi negatif.

Mungkin saya akan mempertimbangkan artis-artis (jika nyaleg) seperti pemain film Syifa Hadju yang turun langsung ke jalan membela Palestina. Walau diakui, aksinya tersebut berbuah konsekuensi kehilangan sebagian kontrak pekerjaannya. Tapi seenggaknya ia punya sikap dan masyarakat bisa menilainya.

Atau saya juga bisa mempertimbangkan aktor Jefri Nichol yang turut serta berdemo bersama mahasiswa menolak UU Cipta Kerja (Omnibus Law), di saat sebagian artis lain menjadi corong pemerintah mengkampanyekan UU tersebut yang disinyalir justru merugikan masyarakat.

Soal aksi Syifa Hadju dan Jefri Nichol tersebut menjadi parameter ketiga ketika saya memilih caleg artis yakni kiprah dan kepeduliannya untuk masyarakat.

Baiklah saya jujur saja sekarang. Saya memilih Desy Ratnasari pada Pemilu 2019. Parameter pertama dan kedua jelas terpenuhi. Ia lulusan S2 Psikologi Terapan Universitas Indonesia dan memiliki track record keartisan yang baik.

Untuk parameter ketiga, saya perlu mencari informasi lebih lanjut mengenai kiprahnya di Dapil Jawa Barat IV (Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi) yang merupakan asal kelahirannya.

Desy yang satu alumni SMA sama saya tapi beda jauh tahun lulusnya ini, pernah ikut semacam charity concert untuk kemanusiaan bersama artis-artis lain yang berasal dari Sukabumi.

Ia juga peduli pada pemberdayaan perempuan, pendidikan, dan ekonomi kreatif. Dari hasil penelusuran, Desy beberapa kali mengadakan acara seminar dan pelatihan yang dikhususkan untuk perempuan agar bisa berdaya saing dan mandiri.

Alasan lain memilih Desy waktu itu karena caleg-caleg populer dari partai lain, sudah terlalu lama duduk di Senayan. Saya sendiri menganut pemikiran bahwa anggota dewan cukup dua periode saja. Meski itu aturan yang saya buat dan taati sendiri, hehe.

Pada Pemilu 2019, keikutsertaan Desy adalah yang kedua kalinya. Makanya, saya tidak memilihnya kembali pada Pemilu 2024. Dan sayangnya, Desy berpotensi gagal ke Senayan karena perolehan suara partainya yang kurang.

Kesimpulannya, artis parlemen memang kebanyakan hanya sebagai vote getter bagi partai. Tentunya tanpa mengesampingkan caleg artis yang memang betul-betul ingin mengabdi dan menyuarakan suara rakyat, bukan sekadar menjadikan dewan sebagai pekerjaan semata.

Soal persepsi apakah artis boleh nyaleg atau tidak, sebaiknya kita sendiri selaku pemilih yang selektif dalam memilih caleg artis. Tiga parameter yang saya sebutkan bisa dijadikan acuan.

Semoga bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun