Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Rekoleksi Memori, Suatu Hari di Ramadan Tahun 2000

2 April 2023   11:01 Diperbarui: 2 April 2023   11:04 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membangunkan sahur dengan peralatan seadanya/anakui.com

Alhamdulillah, 10 hari pertama Ramadan 2023 telah dilewati. Semoga apa-apa yang kita kerjakan di waktu tersebut, mendapat pahala dan bernilai kebaikan di sisi Allah SWT.

Setiap Ramadan memberikan cerita berbeda pada setiap orang. Tahun demi tahun kita menjalankan Ramadan dalam suasana yang berbeda. Entah itu dengan siapa kita saat Ramadan, di mana kita saat Ramadan, atau apapun yang kita lakukan saat Ramadan.

Mungkin ada yang Ramadan tahun ini adalah Ramadan pertama kalinya di negeri orang dan jauh dari keluarga. Ada juga yang mungkin pertama kalinya bersama dengan keluarga baru.

Saya tidak ingat kapan persisnya terakhir saya menghabiskan Ramadan dengan keluarga yang masih lengkap. Saya harus mencoba menjelajahi memori, untuk kembali ke waktu 23 tahun yang lalu.

Saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Orang-orang pada heboh karena pada waktu itu kita merayakan lebaran dua kali dalam setahun. Saya mendengar, mereka menyebutnya "inilah keistimewaan 2000 sebagai tahun milenium".

Meski sekarang saya sadari, kita nggak pernah benar-benar merayakan lebaran dua kali dalam setahun. Ini hanya karena ada perbedaan sistem penanggalan antara kalender Masehi dan kalender Hijriah. Apa yang terjadi pada tahun 2000, akan berulang dalam beberapa waktu lagi ke depan.


Rekoleksi memori ini akan saya mulai dari karakter emak (ibu) yang menggoyangkan kasur membangunkan saya untuk makan sahur.

Ayo Ja, bangun makan sahur

Suara emak sayup-sayup terdengar. Dalam kesadaran yang masih setengah sadar saya terbangun. Lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Rupanya di depan rumah sudah ada dua teman saya menunggu, Bani dan Yora. Selepas mencuci muka, saya bergabung bersama mereka dan beberapa orang dewasa untuk keliling komplek membangunkan orang sahur.

"Sahur..sahur...sahur...sahur", saya mengikuti irama suara orang-orang sambil memukul tutup panci agar mengeluarkan bunyi.

Pukul setengah empat dini hari, saya kembali ke rumah. Saya tidak perlu repot memasak apapun, karena makanan untuk sahur sudah tersedia di meja. Ya, siapa lagi kalau bukan emak yang menyediakan.

Sungguh betapa mulianya perjuangan para ibu yang bangun lebih dahulu dari keluarganya, lalu menyiapkan segala makanan untuk disantap bersama.

Sebelum makan, ayah memimpin doa bersama. Saya dan kedua kakak saya khidmat mengikuti doa seraya mengaminkannya dalam hati. Sementara kedua adik saya yang masih mungil-mungil masih terlelap dalam tidurnya.

Selepas makan ayah segera bergegas pergi ke pasar. Kata ayah, di pagi hari banyak pembeli di pasar. Banyak orang-orang belanja untuk kebutuhan dapur. Ayahpun meninggalkan rumah sebelum subuh.

Sementara saya dalam keadaan masih mengantuk, menunggu azan subuh berkumandang. Di tangan saya sudah ada 'buku Ramadan' yang harus ditandatangani oleh imam/ustad sebagai tanda saya melaksanakan salat subuh di masjid dan mengikuti kuliah subuh.

Saya berebut antrean dengan Bani dan Yora agar bisa mendapat tanda tangan lebih dulu. Tentunya agar saya bisa tidur lebih cepat.

Matahari kian memancarkan panas tipis-tipis. Jam sembilan pagi saya sudah terbangun. Hari itu hari libur sekolah. Saya dan teteh (kakak perempuan) harus pergi ke pasar gantian dengan ayah yang sudah sejak dini hari berada di pasar.

Jam sebelas siang saya tiba di pasar. Kini giliran kami yang jaga lapak dagangan. Ayah pulang untuk beristirahat sejenak.

Matahari semakin terik, tapi orang-orang yang berlalu lalang di hadapan kami seakan tak ada habisnya. Sebagian ada yang melewati kami begitu saja, tapi sebagian lagi ada yang berhenti dan mengajak kami mengobrol. Tentunya mereka tak sekadar mengobrol, tapi juga membeli dagangan kami.

Zuhur pun tiba. Kami bergantian ke mushola belakang gudang untuk salat. Saya masih ingat, ketika itu saya salat diimami oleh tukang cendol yang gelar lapaknya tepat di sebelah lapak saya.

Sehabis salat, abang tukang cendol ini menawari saya satu plastik cendol. Katanya gratis. Dan nggak apa-apa berbuka di siang hari. Kata si abang, anak-anak sudah bagus bisa berpuasa setengah hari.

Ketika teteh saya giliran salat, saya pun minum es cendol yang diberikan. Rasanya benar-benar nikmat. Di tengah panas matahari yang sedang dalam puncak-puncaknya, es cendol adalah oase terbaik.

Detik demi detik berlalu hingga matahari pun mulai tenggelam, ayah sudah tiba untuk menjemput kami pulang. 

Sebelum pulang, ibu penjual kurma yang juga menggelar lapaknya dekat kami, menitipkan beberapa kurma untuk dibawa pulang. Katanya untuk berbuka puasa. Dan ibu itu melakukannya setiap kami akan pulang dari pasar. Mungkin ini juga yang menjadi cikal bakal kenapa setiap Ramadan, saya nggak bisa lepas dari kurma.

Singkat cerita, kami sudah tiba di rumah. Emak menyuruh saya mandi dan ganti baju. Emak juga meminta saya untuk tidak main dulu bersama teman-teman.

Selepas mandi, emak meminta saya duduk, seraya bertanya:

"Gimana tadi di pasar, puasanya batal nggak?"

Ah, saya harus jawab apa. Apakah saya harus jujur kalau saya tadi siang minum es cendol. Dan lagian kenapa pula tumben emak bertanya seperti itu.

"Enggak mak", jawab saya singkat saja.

Emak pun melepaskan saya agar bisa ngabuburit bareng Bani dan Yora. Ya, mereka adalah dua sahabat saya semasa kecil yang usianya paling sebaya dengan saya.

Waktu magrib hampir tiba. Kami sudah berkumpul lagi di teras depan menunggu sirine radio berbunyi yang menandakan waktu berbuka puasa.

Seperti biasa ayah akan memulai nasihatnya. Dalam nasihat ayah kali ini, beliau menekankan pentingnya kejujuran dalam segala hal. Sembari sesekali matanya melirik ke arah saya.

"Ngiunggggggggggggggg......", sirine radio berbunyi.

Saya pun berbuka puasa seraya masih membawa pikiran apakah emak dan ayah sesungguhnya sudah tahu kalau saya minum es cendol siang hari?

Tapi satu hal, nasihat ayah selalu teringat hingga kini. Penting menjadi orang pintar, tapi lebih penting lagi menjadi orang jujur.

--

Sukabumi, 

Suatu hari di Ramadan tahun 2000.
Setitik kisah yang membangkitkan kenangan, tapi takkan pernah terulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun