Mohon tunggu...
Raihan Saiful Hakim
Raihan Saiful Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa dari Perguruan Tinggi di Yogyakarta yang menggeluti bidang keilmuan terkait ilmu sosial khususnya ilmu politik, pemerintahan, dan administrasi publik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Partai Politik dan Representasi Pemilih

27 November 2023   22:46 Diperbarui: 27 November 2023   23:30 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Partai Politik, Sumber: kompas.com

Secara etimologi Partai Politik (parpol) terdiri dari 2 kata yakni kata partai yang berasal dari bahasa Latin yakni partire, yang dalam bahasa Inggris berarti part/bagian, kemudian kata part ini berkembang menjadi participate yang berarti mengambil bagian (Sartori, 1976). Kata kedua, yakni politik mengandung makna salah satunya ialah perjuangan meraih kekuasaan. Oleh karena itu, partai politik secara etimologi dapat diartikan sebagai bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan untuk memperoleh kekuasaan. 

Menurut Rubert Huckshorn (1985) partai politik (parpol) adalah kelompok otonomi warga negara yang memiliki tujuan untuk mencalonkan dan mengikuti pemilu demi memeroleh kendali dan kekuasaan pemerintahan melalui perebutan jabatan publik dan organisasi pemerintah. Haggue & Harrop (2004) mendefinisikan partai sebagai suatu organisasi permanen yang mengikuti pemilihan untuk menduduki jabatan yang menentukan keputusan dan kebijakan negara. 

Kemudian, di dalam UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dijelaskan bahwa partai politik adalah organisasi yg bersifat nasional yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak & cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik yang dimiliki oleh anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta dalam rangka memelihara keutuhan NKRI yang berdasarkan pada Pancasila & UUD 1945.

Keberadaan partai politik didalam sebuah negara demokrasi adalah suatu hal yang wajib dan tak terbantahkan. Partai politik merupakan salah satu infrastruktur politik yang sangat penting di dalam negara demokrasi.  Sebab, partai politik merupakan politik yang terlembagakan, maka dari itu kepentingan masyarakat akan masuk ke dalam sistem politik suatu negara melalui infrastruktur politik. Partai juga memainkan peran yang sangat krusial dalam proses pengambilan kebijakan dijalankan melalui sistem politik di dalam suatu negara demokrasi. 

Menurut Caton (2007), partai memainkan 3 fungsi utama di dalam negara demokrasi, yakni artikulasi politik, agregasi kepentingan, dan rekrutmen politik. Kemudian, menurut Miriam Budiharjo, partai politik memiliki 4 fungsi, yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik (Junaidi, 2020). Oleh karena itu, kedudukan partai politik sangat krusial sehingga sangat berpengaruh terhadap kebijakan publik yang ditetapkan dan stabilitas sistem politik di suatu negara demokrasi. Peran penting tersebut dapat diperankan dan dijalankan dengan baik oleh partai politik ketika partai politik dapat memposisikan diri dengan baik selama proses representasi politik dalam proses perumusan kebijakan.

Representasi politik merupakan suatu kegiatan membuat suara, opini, dan perspektif warga negara dalam proses pembuatan kebijakan publik (Dovi, 2018). Representasi politik dapat terjadi apabila aktor politik ataupun tokoh politik dari suatu partai politik berbicara, mengadvokasi, melambangkan, dan bertindak atas nama orang lain di dalam suatu arena politik. Menurut Dovi (2018), terdapat lima komponen kunci yang harus ada di dalam representasi politik, yakni: ada pihak yang mewakili, pihak yang diwakili, sesuatu yang direpresentasikan, konteks politik (pengaturan dimana aktivitas representasi berlangsung), dan ada sesuatu yang dihasilkan ataupun ditinggalkan (contoh: pendapat, kepentingan, dan perspektif yang tidak disuarakan). Oleh sebab itu, representasi politik tidak akan pernah ada dan berhasil tanpa adanya kelima komponen pokok tersebut.

Partai politik, sebagai infrastruktur politik yang memiliki beberapa fungsi dan peran yang krusial dalam sistem politik harus memenuhi lima komponen utama dalam representasi politik. Hal tersebut dikarenakan, ketika partai ingin menjalankan ketiga fungsinya secara optimal di dalam sistem politik pemerintahan di suatu negara. Salah satu sarana yang digunakan oleh partai politik dalam membentuk suatu representasi politik dalam pemerintahan ialah dengan melalui suatu pemilihan umum (pemilu). Melalui penyelenggaraan pemilu, akan terpilih anggota legislatif yang akan bertugas dan berperan menjadi representasi dari kelompok yang ada di masyarakat dalam menentukan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dengan adanya pemilu akan menjadi suatu momentum yang akan memunculkan konsep keterwakilan politik di badan legislatif. Menurut buku International IDEA, dalam pemilu, sistem yang digunakan sangat menentukan perolehan suara dan menentukan siapa dan dari partai mana yang akan menduduki kursi legislatif yang nantinya akan menjadi representasi politik masyarakat.

Di Indonesia, sistem pemilihan yang digunakan dalam pemilihan legislatif adalah sistem proporsional representatif list terbuka (open list PR). Secara teoritis, sistem ini lebih menjamin terbentuknya sistem politik yang merepresentatifkan berbagai golongan dan kelompok masyarakat. Akan tetapi, dalam praksisnya sistem ini justru melahirkan kelompok elit dikalangan masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai representasi kelompok/golongan tertentu. Hal ini salah satunya disebabkan oleh diterapkannya ambang batas parlemen di dalam pemilihan legislatif, yang menyebabkan ongkos politik menjadi lebih mahal. 

Memang, penerapan ambang batas parlemen/parliamentary threshold menimbulkan sedikit ambiguitas. Sebab, disisi lain penerapan parliamentary threshold dapat membatasi jumlah partai politik yang ada di DPR yang dapat menyebabkan sulitnya memutuskan sebuah kebijakan dengan cepat jika terjadi keadaan yang mendesak, mengingat dalam proses pembuatan keputusan yang ada di parlemen peran konsolidasi antar fraksi parpol sangat penting. Disamping itu, adanya ambang batas suara menyebabkan parpol/calon yang ingin maju dalam suatu pemilihan umum perlu merogoh kocek lebih dalam untuk kampanye untuk mengamankan suara serta mendapatkan kursi lebih banyak.

Dilansir dari Kompas.com, Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa seorang calon kepala daerah membutuhkan dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangkan Pilkada. Contohnya pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 62,6 miliar. Sementara, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar. Kemudian, angka tersebut naik secara siginifikan pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun