Mohon tunggu...
Raihan Lubis
Raihan Lubis Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pembaca dan suka menulis

Seorang pembaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini dan Surat-suratnya yang Lain

26 September 2019   08:56 Diperbarui: 26 September 2019   09:09 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Serial tulisan untuk anakku Sophie.

Sophie sayang, Akhirnya mama memahami dan tidak ada keraguan di dalamnya --setelah membaca surat-suratnya di buku berjudul Kartini ini-- bahwa Kartini sebagai seorang perempuan telah menunaikan tugasnya dengan sehormat-hormatnya. Tak lama mama berpikir untuk segera membeli buku bekas ini-- di sebuah toko buku di pojok jalan di Ubud, pada siang yang muram, kemarin. Buku ini melengkapi buku dari tulisan Pramoedya yang mama baca sebelumnya, Panggil Aku Kartini Saja- yang dikatakan Pram bahwa surat-surat Kartini luar biasa, selain melambungkan namanya, suaranya juga terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke negeri asal dan akar segala kehancuran manusia Pribumi.

Buku ini menggambarkan bahwa sebagai anak, Kartini sangat mencintai ayahnya dan keluarganya, sebagaimana dia mencintai bangsa dan negerinya. Dia mengajukan diri untuk bersekolah ke Belanda meski keluarganya menentang bahkan keluarga Kartini pergi ke dukun agar Kartini mengubah pendiriannya untuk pergi ke Belanda. Bagi Kartini, sesungguhnya dia tak hendak menjadikan anak didiknnya kebarat-baratan, tidak hendak mendesak sifat-sifat sendiri yang bagus, tetapi hendak memberikan yang bagus dari peradapan Eropa untuk memuliakan anak didiknnya kelak. Dan sayangnya, keputusan dari pihak Pemerintah Belanda belum juga ada- sampai suatu hari surat dari Betawi yang menyatakan dia dapat bersekolah di Betawi datang- hanya sehari setelah ayahnya memutuskan menerima pinangan Bupati Rembang. Kartini sakit- dia merasa lumpuh, burung kecil dalam hati sanubarinya tidak berkicau lagi.

"Aduhai Tuhan, Tuhan saya, belas kasihanilah saya. Berilah saya kekuatan untuk menanggung penderitaan saya," tulisnya. Pada Nyonya Abendanon Kartini mencurahkan isi hatinya tentang tunangannya yang seorang duda dengan 7 anak.

Dalam bagian lain Kartini bercerita bagaimana dia tidak dapat menerima perlakuan ayahnya pada dua orang ibunya -- yang dikatakannya sebagai dua orang perempuan yang menderita-- sehingga dia menentang poligami karena dia melihat keadaan di lingkunganny sendiri yang terdekat. Dia menulis- bagai melihat neraka dari dekat.

Kartini tak hanya bercerita tentang keluh kesahnya soal keluarganya. Tapi dia juga menuliskan pandangannya tentang kebijaksanaan pemerintah soal monopoli candu- di mana pemerintah masa itu hendak memberantas kebiasaan madat di kalangan Bumiputra tetapi di sisi lain pemerintahan kolonial masih membutuhkan uang dari penjualan candu tersebut. Juga, Kartini menyoroti persoalan ketidakbecusan pemerintahan Belanda dalam persoalan pengaturan kepangkatan dan pemindahan orang-orang pribumi yang dipandangnya dari sudut kesetiakawanan korps pegawai Belanda. Dia menggugat bagaimana para atasan Belanda selalu mencari kekurangan atau kesalahan bawahan (para pribumi) agar sang atasan mendapat nama baik dan naik pangkat. Jadi Sophie, dapatlah dipahami --di masa ini-- carut marutnya persoalan kepegawaian pemerintahan di negeri ini- dari mana akar dan muasalnya.

Tapi dari semua keluh kesah itu, dapat pula kita lihat nak, bagaimana Kartini yang semula bergelar Raden Ajeng telah bertransformasi menjadi Raden Ayu- yang dapat bergerak lebih bebas menurut padangan masyarakat waktu itu. Sehingga dengan kelebihan statusanya itu, dia mulai mendidik anak-anaknya dan anak-anak keluarga suaminya serta anak-anak pegawai Bumiputra lainnnya, karena pada orang tua anak-anak itu telah mulai tumbuh minatnya untuk memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak mereka, terbukti dari banyaknnya permintaan dari mereka untuk menyerahkan anaknya kepada Kartini, meskipun hanya sebagai pembantu rumah tangga, asal mendapat kesempatan untuk belajar saja. Demikian uraian yang dapat mama baca dari lembaran Kata Pengantar- yang membuat mama segera memutuskan untuk membelinya.

Sophie sayang, walau Ubud masih saja muram karena awan berwarna abu-abu melingkupinya, tetapi mama merasa dengan mendekap buku Kartini di dada sesaat ketika keluar dari toko buku itu, mama seperti mendapat sebuah kekuatan untuk menyingkirkan muramnya cuaca Ubud.

Bagaimana tidak, ketika membaca sepintas lembar demi lembar saat akan memutuskan untuk membelinya, mama menemukan fakta-fakta bahwa buku terjemahan surat-surat Kartini ini tidak sama dengan buku terjemahan sebelumnya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat dalam buku ini terasa intim, dan juga ada beberapa hal yang sebelumnya hanya samar-samat ditulis dan kemudian direka-reka sekenanya menjadi sangat jelas di buku ini. Dan ada perasaan entah bagaimana- ketika kita dapat membaca surat-surat orang yang pernah hidup di suatu masa dengan pemikiran dan perbuatan yang melampaui masanya.

Aslinya, buku ini berjudul Brieven aan mevrouw R.M Abendanon-mandri en haar echt-genoot met andere documenten, yang kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ulang oleh penerbit Djambatan yang bekerja sama dengan KITLV (1989).

Salam literasi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun