Mohon tunggu...
Raihan devi
Raihan devi Mohon Tunggu... Mahasiswi prodi Bahasa dan Sastra Arab Uin Malang

Semangat bermanfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dibalik kata "Koen" dan "Rek"

8 Oktober 2025   19:58 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:53 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun Kota Malang ( Raihan Devi/Kompasiana)

Terkadang, hal-hal kecil dalam hidup justru menyimpan arti yang tak terduga. Mungkin bagi sebagian orang, logat hanyalah cara berbicara. Namun bagiku, logat adalah jejak hati yang dimulai dari rasa asing, melewati jalan penerimaan, hingga bermuara pada keakraban yang tak ternilai. Dan itu semua berawal ketika saya menapakkan kaki di Malang, kota yang namanya terukir indah dalam nyanyian "Malang Suantai Sayang" milik Sal Priadi.

Kala itu, pertama kali menyapa Bumi Malang, saya merasa seperti tokoh utama dalam drama korea yang tiba-tiba pindah sekolah, ada rasa bingung, grogi, sekaligus excited. Bedanya, alih-alih membawa koper imut seperti di drama, saya malah menyeret dua koper jumbo ditambah ransel segede gaban. Kalau ada yang melihat, mungkin mereka mengira saya pindahan rumah, bukan sekadar merantau untuk kuliah.

Begitu sampai pesantren, hawa dingin Malang langsung menusuk kulit. "Oke, ini bukan kota saya," batinku. Namun dalam hati juga ada bisikan, "Eh, bisa jadi kota kedua loh ini." Malang dikenal sebagai Kota Pendidikan dan Kota Apel, tetapi bagi saya label yang paling tepat adalah Kota Logat. Sebab di sini, logat bukan sekadar bagaimana seseorang berbicara, melainkan identitas sekaligus cara diterima.

Hari pertama, kamar masih kosong. Awalnya terasa enak, sepi, dan bebas. Namun, menjelang sore satu per satu teman kamar berdatangan. Ada yang dari Jakarta, Pasuruan, Lamongan, Bondowoso, dan Malang. Malam itu, obrolan ringan pun pecah. Diva, anak Jakarta dengan gaya jakselnya nyeletuk, "Guys, lu pada tim tidur lampu on or off nih?" (Teman-teman, kalian kalau tidur suka lampu yang nyala apa mati).

Dengan sigap, Fahima yang asalnya dari malang menjawab lantang, "Yo jelas mati, rek! Lek lampune murup, ndas mumet!" (Ya jelas mati, kalau lampunya nyala kepala pusing) Saya terdiam, logatnya terdengar keras sekali, seperti sedang debat kusir. Belum sempat mencerna, Bian dengan logat khas kental Pasuruan ikut nimbrung, "Lek aku yo murup seh, soale lek mati yo wedi ae" (Kalau aku lampu nyala, karena kalau mati takut). Mereka ribut sambil tertawa, sementara saya hanya menjadi penonton. Awalnya mengira mereka sedang bertengkar, ternyata begitulah gaya bercandanya.

Hari-hari berikutnya terasa seperti ikut kursus bahasa gratis. Setiap pagi, suara teman-teman sudah riuh. Saat antre kamar mandi, tiba-tiba ada yang berteriak, "Hee, sopo rek ndek jedeng?" (Hei, siapa di kamar mandi?). Hampir saja sikat gigi terlepas dari tangan saya. Dengan pelan menjawab, "Saya... Syahida," setengah takut. Tak disangka, yang bertanya malah menanggapi santai, "Ohh, koen sek sue ta?" (Oh, kamu masih lama?). Dalam hati menggerutu, "Ya Allah, ini bahasa planet apa lagi, ada koen koen segala?".

Momen itu membuat saya sadar, logat bisa terasa menakutkan sekaligus menenangkan, semuanya tergantung pada bagaimana kita memahaminya. Awal mulanya terasa masih kikuk. Setiap kali mendengar kata "koen" atau "rek", jantung saya otomatis berdegup. Telinga yang terbiasa dengan bahasa Jawa krama halus merasa logat Malang seperti ombak besar; keras, deras, dan tak bisa dihindari.

Titik balik datang dari seorang teman sekamar bernama Kape, yang ucapannya selalu terdengar akrab dan khas daerah Malang. Suatu sore ia berkata, "Rek, koen kok mlaku dewean seh?" (Kamu kok jalan sendirian?). Saya sempat terdiam, tapi Kape tersenyum lalu menjelaskan, "Kalau aku memanggilmu begitu, artinya aku sudah menganggapmu teman dekat. Kalau tidak, aku tidak akan memanggilmu seperti itu".

Sejak saat itu, pandangan saya berubah. Kata-kata yang tadinya terasa kasar justru menjadi simbol kedekatan. Logat bukan lagi terdengar menakutkan, melainkan kode rahasia pertemanan.

Saya pun mulai memberanikan diri. Suatu hari Kape bertanya, "Rek, tugasmu wis mari aa?" (Kawan, tugasmu sudah selesai belum?). Dengan sok percaya diri, saya menjawab, "Durung, isih separo. Nyapo? te nyonto, aa?" (Belum, masih separuh. Kenapa? kamu mau menyontek, ya?). Seketika kamar pecah oleh tawa. Sedikit malu, tapi perlahan saya justru merasa hangat. Seolah baru mendapat kartu anggota tak resmi"Selamat, Anda kini sah menjadi arek Malang KW!".

Sejak tinggal di Malang, logat itu perlahan menempel di lidah. Awal-awal memang masih kaku, namun lama-lama menjadi bagian dari keseharian. Dari hal kecil itu, saya belajar bahwa bahasa bukan sekadar alat bicara, melainkan jembatan keakraban. Melalui logat, jarak antar teman mencair, tawa lebih mudah muncul, dan kebersamaan terasa alami.

Saat liburan semester, saya pulang ke rumah dan baru menyadari betapa logat Malang telah melekat dalam cara berbicara. Awalnya terasa aneh, seolah ada yang berubah, tapi perlahan muncul rasa tentram dan bangga. Saya tak kehilangan jati diri, justru bertambah kaya memiliki dua bahasa yang saling melengkapi, krama Jawa yang halus dan logat Malang yang lugas.

Keduanya tidak saling menghapus, justru saling melengkapi seperti kopi dan gula. Krama menjaga rasa hormat kepada orang tua, sedangkan logat Malang membuat pergaulan terasa lebih luwes. Dan inilah refleksi terbesar saya, bahwasannya bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan cermin identitas yang lentur. Ia mampu menyesuaikan dengan tempat dan orang tanpa membuat kita kehilangan jati diri.

Nyatanya setiap kali kembali ke Malang dan mendengar orang berkata, "Koen kate nangdi e?" saya otomatis tersenyum. Kata-kata yang dulu membingungkan, kini menjadi pengingat bahwa saya punya rumah kedua di sini. Rumah yang tidak dibangun dari bata dan semen, melainkan dari logat dan tawa orang-orang tersayang.

Jadi, jika ada yang bilang logat Malang itu kasar, saya akan menjawab, "Kasarnya di telinga, tapi hangatnya di hati." Karena bagi saya, logat bukan sekadar aksen, melainkan tiket pulang ke tempat di mana diterima apa adanya.

Dan itulah Malang bagi saya. Kota yang memberi udara sejuk, bakso mantap, dan teman-teman yang gokil. Namun lebih dari itu, Malang memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga yakni logat. Logat yang dulu membuat saya meringis, kini jadi melodi yang membuat tersenyum. Logat yang mengajarkan bahwa kadang keakraban lahir melalui hal sederhana dari cara kita menyebut satu sama lain. Kini, logat Malang bukan lagi sesuatu yang asing. Ia adalah suara pulang yang selalu kurindukan.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun