Saat liburan semester, saya pulang ke rumah dan baru menyadari betapa logat Malang telah melekat dalam cara berbicara. Awalnya terasa aneh, seolah ada yang berubah, tapi perlahan muncul rasa tentram dan bangga. Saya tak kehilangan jati diri, justru bertambah kaya memiliki dua bahasa yang saling melengkapi, krama Jawa yang halus dan logat Malang yang lugas.
Keduanya tidak saling menghapus, justru saling melengkapi seperti kopi dan gula. Krama menjaga rasa hormat kepada orang tua, sedangkan logat Malang membuat pergaulan terasa lebih luwes. Dan inilah refleksi terbesar saya, bahwasannya bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan cermin identitas yang lentur. Ia mampu menyesuaikan dengan tempat dan orang tanpa membuat kita kehilangan jati diri.
Nyatanya setiap kali kembali ke Malang dan mendengar orang berkata, "Koen kate nangdi e?" saya otomatis tersenyum. Kata-kata yang dulu membingungkan, kini menjadi pengingat bahwa saya punya rumah kedua di sini. Rumah yang tidak dibangun dari bata dan semen, melainkan dari logat dan tawa orang-orang tersayang.
Jadi, jika ada yang bilang logat Malang itu kasar, saya akan menjawab, "Kasarnya di telinga, tapi hangatnya di hati." Karena bagi saya, logat bukan sekadar aksen, melainkan tiket pulang ke tempat di mana diterima apa adanya.
Dan itulah Malang bagi saya. Kota yang memberi udara sejuk, bakso mantap, dan teman-teman yang gokil. Namun lebih dari itu, Malang memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga yakni logat. Logat yang dulu membuat saya meringis, kini jadi melodi yang membuat tersenyum. Logat yang mengajarkan bahwa kadang keakraban lahir melalui hal sederhana dari cara kita menyebut satu sama lain. Kini, logat Malang bukan lagi sesuatu yang asing. Ia adalah suara pulang yang selalu kurindukan. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI