Di sisi lain, stigma budaya juga menjadi penghalang besar. Dalam banyak masyarakat yang dilanda perang, gangguan mental masih dipandang sebagai tanda kelemahan atau kurangnya iman.Â
Banyak orang enggan mencari pertolongan karena takut dianggap "tidak kuat" atau "tidak bersyukur," padahal mereka sedang berjuang menghadapi trauma berat.
Masalahnya semakin rumit karena keterbatasan sumber daya manusia. Jumlah psikolog dan konselor profesional di wilayah konflik sangat minim. Bahkan di beberapa daerah, hampir tidak ada sama sekali.Â
Dokter umum atau relawan kemanusiaan sering harus merangkap peran sebagai pendengar dan penolong emosional bagi para korban.
Namun, penelitian dari WHO menunjukkan bahwa dukungan psikososial dini dapat menurunkan risiko depresi dan PTSD hingga 40%. Temuan ini menegaskan bahwa memberikan ruang aman, mengadakan kegiatan kreatif, atau sekadar mendengarkan cerita para penyintas merupakan bantuan nyata untuk kesehatan mental mereka
Di tengah reruntuhan dan kehilangan, perhatian kecil terhadap kesehatan mental dapat menjadi jembatan menuju pemulihan yang lebih manusiawi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI