Pendudukan wilayah oleh Israel di Gaza Palestina, telah menciptakan generasi yang tumbuh di bawah bayang-bayang perang. Laporan Save the Children (2023) mencatat bahwa 80% anak-anak Gaza menunjukkan gejala depresi dan ketakutan ekstrem. Sementara WHO memperkirakan 70% populasi Gaza memerlukan bantuan psikologis akibat trauma berkepanjangan.
Namun, wilayah ini hanya memiliki sekitar 50 profesional kesehatan mental aktif, jumlah yang sangat tidak sebanding dengan 2,3 juta penduduk.
Wilayah dengan konflik lain seperi di Ukraina juga mengalam hal serupa. Sejak invasi Rusia pada 2022, lebih dari 6,5 juta orang Ukraina menjadi pengungsi lintas batas dan 3,7 juta lainnya menjadi pengungsi internal (UNHCR, 2024).
WHO melaporkan bahwa 1 dari 3 orang Ukraina kini mengalami gangguan mental mulai dari kecemasan hingga PTSD. UNICEF (2023) menambahkan bahwa 60% remaja Ukraina mengalami gangguan tidur dan kehilangan motivasi akibat stres perang.
Upaya bantuan dilakukan melalui mental health hubs di berbagai kota, tetapi keterbatasan tenaga dan infrastruktur membuat pemulihan berjalan lambat.
Selain di Palestina dan Ukraina, daerah konflik di benua Afrika juga mempunyai isu serupa. Di Nigeria, konflik berkepanjangan dengan kelompok Boko Haram telah menyebabkan lebih dari 3 juta orang mengungsi (UNHCR, 2024).
International Rescue Committee (2023) mencatat hanya 1 dari 10 korban kekerasan yang menerima dukungan psikologis. Di kamp pengungsian di Borno dan Adamawa, banyak perempuan dan anak-anak hidup dengan trauma mendalam akibat kekerasan bersenjata dan seksual.
Meski UNICEF dan IRC membuka ruang aman (child-friendly spaces) untuk anak-anak, WHO Nigeria (2024) memperingatkan bahwa krisis kesehatan mental di wilayah ini masih "tidak terlihat tapi meluas."
Mengapa Dukungan Mental Sering Terlupakan
Dalam situasi krisis kemanusiaan, perhatian terhadap kesehatan mental kerap tenggelam di antara kebutuhan yang lebih mendesak. Ketika konflik pecah, prioritas utama biasanya adalah menyelamatkan nyawa secara fisik.
Akibatnya, dukungan psikologis sering kali dianggap sebagai kebutuhan sekunder, sesuatu yang bisa menunggu sampai keadaan stabil. Padahal, luka batin yang dibiarkan tanpa penanganan bisa bertahan jauh lebih lama daripada luka fisik.