Fenomena ini terkait dengan istilah performative allyship, yang berarti dukungan simbolik tanpa aksi nyata. Dalam artikel Performative Allyship Is Deadly oleh Latham Thomas (Harvard Business Review, 2020), dijelaskan bahwa tindakan ini dapat mengaburkan makna gerakan feminisme.
Sayangnya, gimmick ini hanya untuk menarik perhatian. Anggapan bahwa mereka hanya gimmick juga bisa menimbulkan pandangan negatif terhadap mereka yang benar-benar memahami isu feminis.
Namun, bukan berarti tidak ada laki-laki yang tulus mendukung kesetaraan gender. Mereka tidak terikat pada ciri tertentu seperti ciri performative male.
Mereka tidak membawa boneka Labubu kemana-mana, mungkin juga tidak suka matcha latte tapi mereka tahu betul penderitaan dan penyelesaian isu feminisme. Bukan untuk menarik perhatian pasangan tapi mereka tahu bahwa adik perempuan, ibu, dan nenek mereka adalah seorang perempuan yang mungkin menerima dampak ketidakadilan gender.
Melihat Ketulusan Bukan Penampilan
Munculnya performative male menandai perubahan dalam maskulinitas. Ada yang tulus ingin mendukung kesetaraan gender, tetapi banyak juga yang hanya ingin citra baik untuk keuntungan pribadi.
Bagi perempuan dan siapa pun yang peduli pada keadilan gender, penting untuk bersikap kritis. Nilai seseorang bukan hanya dari penampilan, tetapi dari tindakan dan konsistensi dalam memperjuangkan nilai-nilai tersebut, baik di dunia maya maupun nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI