Mereka juga sering menggunakan headset atau earphone, serta membaca buku feminis seperti The Bell Jar karya Sylvia Plath dan The Second Sex karya Simone de Beauvoir. Minuman favorit mereka adalah matcha latte, yang mirip dengan jus rumput menurut saya pribadi.
Beberapa bahkan membawa boneka Labubu sebagai gantungan kunci, yang tampak tidak macho menurut standar maskulinitas klasik.
Dari perilakunya, performative male menunjukkan perhatian pada isu feminisme, kesehatan mental, dan isu progresif lainnya. Mereka ingin terlihat paham akan hal-hal yang sering dianggap perhatian perempuan. Cuitan seperti, "Mengapa perempuan harus merasakan sakitnya menstruasi?" adalah contoh mereka mencari validasi.
Sekilas, performative male tampak menarik, tetapi banyak dari mereka hanya menjalani gimmick dan tidak benar-benar memahami isu feminisme.
Mengapa Sosok Performative Male Viral di Kalangan Wanita?
Fenomena performative male menarik perhatian karena resonansi emosional yang mereka ciptakan. Banyak perempuan merasa nyaman dengan laki-laki lembut, tidak agresif, dan sadar akan ketimpangan gender. Ini bisa dianggap sebagai perlawanan terhadap toxic masculinity.
Menurut riset di Psychology of Men & Masculinities (APA, 2020), perempuan lebih suka laki-laki yang empatik dan mendukung nilai-nilai kesetaraan. Ini dipicu oleh pengalaman kolektif perempuan terhadap ketimpangan kuasa.
Di media sosial, persona performative male juga sangat marketable. Mereka tampil menarik, memiliki pandangan mendalam, dan berperan sebagai "penyelamat" dari laki-laki misoginis. Ini semakin memperkuat daya tarik mereka secara digital dan di kehidupan nyata.
Antara Hanya Gimmick atau Benar-benar Tulus
Tidak semua performative male bersikap manipulatif, tetapi banyak yang mengadopsi gaya feminis demi validasi dari perempuan atau ingin tampil berbeda dari "laki-laki biasa."Â