Bahkan, menurut laporan The Guardian (2025), lebih dari 50% konten TikTok bertagar kesehatan mental terbukti mengandung misinformasi. Ini memperkuat kekhawatiran bahwa menjadikan "crashing out" sebagai tren dapat menyesatkan persepsi publik tentang kesehatan mental dan strategi coping yang sehat.
Risiko yang Tidak Terlihat
Di balik tampilan "relatable" dan simpati warganet, crashing out membawa risiko besar jika tidak ditangani dengan benar. Salah satu bahaya utamanya adalah kecenderungan untuk melakukan self-diagnosis yang keliru.Â
Ketika seseorang menganggap ledakan emosi sebagai hal biasa, mereka mungkin tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang mengalami gejala awal dari gangguan seperti depresi atau gangguan kecemasan.
Selain itu, menjadikan crash out sebagai cara meluapkan emosi dapat membentuk kebiasaan coping yang tidak sehat. Alih-alih membangun mekanisme pengelolaan stres jangka panjang, seseorang justru terbiasa menunggu sampai mereka benar-benar "jatuh" untuk kemudian mencari bantuan.
Lebih parah lagi, jika momen-momen emosional itu terus-menerus dipublikasikan demi mendapat validasi sosial, maka individu tersebut bisa tanpa sadar mengeksploitasi rasa sakitnya sendiri demi perhatian dan ini sangat berisiko terhadap kesejahteraan mental jangka panjang.
Seperti dijelaskan WHO (2023), kesehatan mental sejatinya mencakup kemampuan untuk berfungsi secara sosial, emosional, dan kognitif secara seimbang bukan hanya sekadar mengekspresikan perasaan.
Tanda Kamu Sedang Menuju Crashing Out
Mengenali gejala awal sebelum benar-benar meledak secara emosional adalah langkah penting dalam pencegahan. Jika kamu merasa sangat lelah bahkan tanpa aktivitas fisik yang berat, itu bisa jadi sinyal awal kelelahan psikologis.Â
Perasaan ingin mengasingkan diri secara ekstrem, bukan karena ingin menyendiri tapi karena tidak mampu bersosialisasi, juga menjadi indikator yang patut diwaspadai.