Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterkekangan Bisa Jadi Penyebab Kekerasan di Sekolah Berasrama

10 September 2022   05:32 Diperbarui: 10 September 2022   12:40 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Hidup berasrama demi meningkatkan lingkungan belajar memang sudah diterapkan sejak lama bahkan sebelum sistem pendidikan modern lahir. Pesantren, pendidikan seminari dan pendidikan agama lainnya bisa menjadi contoh bagaimana kehidupan berasrama menunjang pencarian ilmu.

Namun kasus kekerasan pada sekolah berasrama juga banyak menuai kontroversi di masyarakat. Banyaknya kasus kekerasan di ranah sekolah berasrama seperti baru-baru ini kasus kematian seorang santri di Pesantren Modern Darusalam Gontor membuat kita bertanya-tanya darimana akar kekerasan ini.

Pengalaman Pribadi Terkait Kekerasan di Sekolah Berasrama

Saya sebenarnya sudah tidak asing lagi mengenai kekerasan di ranah sekolah berasrama karena saya pernah mondok di sebuah pesantren di Jawa Barat. 

Dan memang yang saya temukan banyak sekali kekerasan walaupun mungkin tidak terlalu fatal, terjadi di pesantren saya itu. Kekerasan baik dari teman sebaya seperti perundungan maupun dari badan otoritatif-nya seperti dari senior ke junior dengan dalih penertiban banyak saya temukan.

Saya sendiri sebenarnya jarang mengalami tindakan kekerasan karena mungkin saya bukan orang yang suka melanggar peraturan dan sedikit berprestasi sehingga banyak dekat dengan guru-guru disana. 

Kekerasan paling kasar yang saya alami mungkin saya pernah ditampar karena telat dan malah berleha-leha ke masjid, tapi saya terima itu sebagai kesalahan saya.

Namun ada kekerasan yang saya amati sangat miris diantara kekerasan lainnya yakni kasus pencurian yang pengintrogasiannya menggunakan kekerasan. 

Yap, jika seorang diduga maling di pesantren maka sepertinya harus kuat badan menjalani interogasinya. Saya banyak melihat teman saya yang diduga mencuri itu dipukuli dengan sangat brutal untuk mengaku.

Kekerasan sering dilakukan dengan dalih penertiban dan juga atas dasar senioritas demi menundukan juniornya. Junior yang memiliki tipe-tipe membrontak biasanya akan terkena tindak kekerasan oleh senior untuk melanggengkan kekuasaan otoritatif mereka.

 Badan keamanan yang diisi remaja yang baru atau sedang pubertas memang terkadang kurang dewasa dan mengandalkan kekuasaan tangan besi.

Keterkekangan Menurut Erich Fromm dalam Kasus Kekerasan Ini

Jika merujuk pada pendekatan psikologis, Erich Fromm dalam buku Akar Kekerasan-nya menjelaskan ada hubungan antara kekerasan dengan keterkekangan. 

Keterkekangan ini merupakan sebuah kondisi dimana kelompok atau individu dipindahkan dari kehidupan aslinya ke sebuah habitat buatan.

Ini didasari dari analisis Fromm melalui perilaku binatang yang masih melekat secara instingtif pada perilaku manusia. Dia memberi contoh pada primata yang ada di kebun binatang dan merujuk pada penelitian Solly Zuckerman tentang monyet Baboon di kebun binatang London.

Dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa monyet Baboon tersebut banyak melakukan kekerasan di habitat buatannya (kebun binatang) daripada di alam liar aslinya. Stres karena ketidaksesuaian dengan habitat buatan tersebut membuat primata ini melakukan kekerasan terhadap sesama.

Dan jika kita lihat kasus tersebut kita bisa menghubungkan bahwa kehidupan berasrama dapat menjadikan "kerangkeng" atau habitat yang asing bagi para pelajar tersebut. 

Kecemasan ini mungkin tidak langsung diekspresikan pada perilaku keluar dari asrama tersebut namun juga dapat direpresi ke alam bawah sadar.

Saat kecemasan yang direpresi karena mungkin ditekan oleh rasa malu sebagai anak yang tidak kuat kehidupan berasrama maka terjadi pelepasan pada perilaku kekerasan yang bermaksud menguasai teman-teman atau adik kelasnya. 

Hal tersebut membuat kekerasan sebagai jalan menuju penguasaan pada habitat buatan yang tidak dikenalnya pertama kali itu.

Sekat yang Memisah Antara Asrama dan Dunia Luar Dapat Menimbulkan Sifat Otoritatif Tidak Sehat

Selain karena keterkekangan itu sekat yang sangat kuat pada dunia asrama dengan dunia luar juga dapat menimbulkan kekerasan tersebut.

Dengan adanya batasan yang tidak sehat itu membuat aturan moral yang berlaku di dunia luar yang lebih besar tidak dapat menjangkau aturan yang ada di asrama.

Badan pengurus bisa sangat otoritatif dan merusak jika sekolah berasrama ini memisahkan diri mereka dari bagian masyarakat atau jadi sangat tertutup. 

Saat sekolah berasrama tersebut terpisah dari masyarat maka tangan-tangan semena-mena dari para pengurus yang ingin melecehkan hak-hak mereka dapat terjadi.

Selain karena terlalu konservatif dan kakunya instansi sekolah berasrama tersebut, beberapa kepribadian narsistik dari ketua pimpinan sekolah atau yayasan tersebut bisa jadi penyebab kekerasan di ranah kehidupan berasrama.

Kesimpulan

Keterkekangan ini dapat diatasi dengan pengenalan lebih baik dan juga mendalam bagi para pelajar kehidupan yang barunya ini.

Memaksa seorang anak untuk mengikuti sekolah berasrama seharusnya bukan pilihan yang baik karena dapat membuat anak menjadi merasa terkekang dan dapat melakukan atau merasakan kekerasan.

Dan juga sekat yang ada di sekolah berasrama dengan dunia luas seharusnya dapat dikurangi. Pengurangan ini juga harus diikuti dengan kepengurusan asrama yang lebih mengatasnamakan kemanusiaan untuk mendidik.

 Kuasa para guru dan kepengurusan juga sebaiknya dibatasi secara imbang demi tidak terjadinya kekerasan ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun