Mohon tunggu...
Bare minimum writer
Bare minimum writer Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

The past is just a story we tell ourselves -Samantha-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panic Buying Air Minum di Malaysia: Negara Apa yang Mempunyai Panic Buying Terparah?

22 Mei 2023   13:55 Diperbarui: 22 Mei 2023   14:16 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by John Cameron on Unsplash

Panic buying, fenomena pembelian massal yang terjadi dalam situasi krisis, telah menjadi sorotan baru-baru ini di beberapa wilayah Malaysia. Kekeringan bendungan dan kesalahan sistem distribusi air di Malaysia menyebabkan panic buying air minum dalam kemasan di beberapa wilayah. Sekitar 1 juta orang di Penang dan Kedah terdampak, dengan penduduk lokal menyerbu supermarket untuk mendapatkan air minum. Meskipun pasokan air pulih dalam waktu singkat, banyak penjual makanan terpaksa tidak buka karena tidak bisa mempersiapkan bahan makanan tanpa air.

Penyebab panic buying ini diduga disebabkan oleh penurunan volume air di beberapa bendungan di Penang yang tidak mendapatkan pasokan air dari Sungai Muda secara optimal. Volume air di bendungan-bendungan seperti Ayer Itam, Teluk Bahang, dan Mengkuang turun drastis. Pemerintah setempat mengimbau warga untuk menghemat air, sementara beberapa ahli menyarankan kenaikan tarif air untuk mengendalikan pemborosan air. Kerusakan pada sensor pintu air juga disebut sebagai penyebab masalah ini, dan otoritas yang berwenang disarankan untuk memeriksa sensor yang rusak atau kemungkinan adanya masalah dalam program pengelolaan air untuk menghindari kejadian serupa di masa depan.

Apa itu panic buying?


Panic buying adalah fenomena pembelian massal yang umumnya terjadi sebelum atau setelah terjadi bencana tertentu, baik itu bencana yang nyata atau hanya diprediksi. Hal ini sering terjadi terkait dengan insiden cuaca ekstrem, seperti badai salju besar yang akan datang atau angin topan. Konsumen takut tidak bisa mendapatkan persediaan yang dibutuhkan, sehingga mereka berbondong-bondong pergi ke toko dan menyimpan persediaan tersebut, membeli produk-produk tertentu dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari biasanya.

Fenomena panic buying sering kali menghasilkan ramalan yang menjadi kenyataan. Konsumen takut akan terjadi kekurangan persediaan, sehingga mereka membeli dalam jumlah besar barang-barang tersebut. Pembelian massal ini kemudian menyebabkan terjadinya kekurangan yang sebenarnya tidak akan terjadi jika tidak ada panic buying.

Panic buying terjadi pada awal pandemi COVID-19 pada tahun 2020 ketika konsumen tiba-tiba mulai membeli dalam jumlah besar barang-barang rumah tangga, seperti tisu toilet, masker pelindung, hand sanitizer, dan peralatan pembersih.

Dalam konteks yang berbeda, panic buying juga kadang-kadang terjadi di pasar keuangan. Ketika harga aset keuangan, seperti saham atau komoditas tertentu, mengalami kenaikan harga yang tajam dan berkelanjutan, banyak investor berlomba-lomba untuk berinvestasi di dalamnya, takut kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang besar.


Penyebab panic buying dari sisi psikologi


Menurut Steven Taylor, seorang profesor dan psikolog klinis di University of British Columbia, terdapat perbedaan yang jelas antara persiapan dalam menghadapi bencana dan panic buying. Dalam situasi seperti badai angin atau banjir, orang-orang memiliki gambaran tentang barang-barang yang mungkin mereka butuhkan dalam kondisi darurat, seperti pemadaman listrik atau kekurangan air. Namun, ketidakpastian yang terkait dengan Covid-19 mendorong perilaku panic buying.

Menurut Taylor, panic buying dipicu oleh kecemasan dan keinginan untuk mengatasi ketakutan tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam tindakan seperti mengantri selama berjam-jam atau membeli barang lebih dari yang sebenarnya dibutuhkan. Contohnya dapat dilihat pada krisis rudal Kuba pada tahun 1962, di mana keluarga-keluarga di Amerika Serikat menimbun makanan kalengan dan air botolan untuk menghadapi ancaman perang nuklir yang tampak tak terhindarkan. Fenomena panic buying juga terjadi pada peristiwa Y2K pada pergantian milenium, di mana orang-orang tidak hanya menimbun makanan tahan lama dan air botolan, tetapi juga uang tunai.

Panic buying membantu orang merasa memiliki kendali atas situasi, menurut para ahli. Dalam situasi krisis, orang merasa perlu melakukan tindakan yang sebanding dengan tingkat krisis yang mereka rasakan. Meskipun tindakan sederhana seperti mencuci tangan dan menjaga kebersihan batuk sudah direkomendasikan, bagi banyak orang hal itu terasa terlalu biasa. Oleh karena itu, mereka cenderung mengeluarkan uang dengan harapan melindungi diri mereka.

Ben Oppenheim, direktur senior di perusahaan riset penyakit menular Metabiota yang berbasis di San Francisco, juga setuju dengan pandangan tersebut. Menurutnya, panic buying pada akhirnya adalah mekanisme psikologis untuk mengatasi ketakutan dan ketidakpastian, serta cara untuk menegaskan kendali atas situasi dengan mengambil tindakan. Prinsip penolakan kerugian juga memainkan peran dalam panic buying. Orang cenderung takut melewatkan sesuatu daripada mengalami kerugian. Rasa kecewa muncul jika seseorang menyadari bahwa ia membutuhkan suatu barang namun tidak dapat memperolehnya ketika ada kesempatan.

Selain itu, perilaku panic buying juga dipengaruhi oleh herd mentality atau kecenderungan untuk mengikuti kerumunan. Ketika orang melihat panic buying terjadi di sekitar mereka, mereka cenderung ikut serta karena terdorong oleh rasa urgensi dan kelangkaan yang diperkuat oleh media sosial dan berita. Secara keseluruhan, panic buying merupakan respons psikologis terhadap ketakutan dan ketidakpastian yang dihadapi individu. Hal ini dipicu oleh keinginan untuk merasa memiliki kendali atas situasi, takut kehilangan, serta pengaruh dari perilaku kolektif.


Contoh panic buying yang pernah terjadi


Sejarah telah mencatat banyak contoh panic buying dalam skala besar. Berikut ini adalah beberapa contoh dari abad yang lalu:

1. Pada tahun 1918-1919, epidemi flu Spanyol menyebabkan konsumen membeli obat-obatan tanpa resep dalam jumlah besar. Beberapa produk kesehatan mengalami peningkatan penjualan lebih dari tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

2. Pada tahun 1920-an, hiperinflasi di Jerman dan Austria mendorong panic buying hampir semua jenis barang. Konsumen berbondong-bondong membeli produk sebelum kenaikan harga akibat hiperinflasi, yang membuat barang-barang tersebut menjadi lebih mahal.

3. Selama Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962, banyak warga Amerika yang takut akan perang nuklir melakukan panic buying makanan kalengan.

4. Serangan teroris 9/11 di World Trade Center di Amerika Serikat memicu panic buying emas dan minyak di pasar keuangan global, yang akhirnya mendorong harga-harga keduanya mencapai level tertinggi sepanjang sejarah.

Negara dengan panic buying paling "parah"


Penelitian baru yang menganalisis pencarian Google mengungkap bahwa penduduk Australia memimpin dalam panic buying pada bulan-bulan awal pandemi coronavirus. Menurut peneliti dari University of New South Wales, tingkat panic buying di Australia empat hingga lima kali lebih tinggi daripada negara-negara seperti Inggris dan Italia yang lebih parah terkena Covid-19. Mereka bahkan harus membuat skala baru untuk grafik yang menunjukkan tingkat panic buying di Australia.

Dr. Tim Neal, salah satu peneliti, mencatat bahwa lonjakan panic buying di Australia tidak terkait dengan pengumuman pemerintah atau peningkatan kasus Covid-19, yang berbeda dengan negara-negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa liputan media Australia tentang penimbunan barang-barang mungkin berkontribusi pada tingkat panic yang sangat tinggi di negara ini. Untuk mengukur panic buying, Neal dan Prof. Mike Keane dari UNSW School of Business mengembangkan indeks yang mencakup 54 negara selama pandemi COVID-19. Mereka menganalisis data pencarian Google dengan menggunakan kata kunci terkait seperti "tisu toilet", "panic buying", "penimbunan", "supermarket", "resesi", dan "pengangguran" dalam berbagai bahasa.

Berdasarkan laporan penelitian mereka, Australia menunjukkan tingkat panic buying yang luar biasa pada awal Maret. Pengeluaran di supermarket meningkat hingga 24,1% selama bulan tersebut. Pada puncaknya, tingkat panic di Australia mencapai 0,79 pada indeks penelitian, sedangkan negara-negara lain seperti Inggris mencapai sekitar 0,175, Italia 0,15, dan Prancis 0,09.

Menurut Neal, "Australia secara signifikan lebih panik daripada negara-negara lain pada bulan Maret dan April." Penelitian ini menemukan bahwa lonjakan panic buying di Australia tidak hanya terkait dengan tingkat infeksi dan tindakan lockdown pemerintah. Meskipun Jepang mengalami lonjakan besar dalam panic buying, situasinya cepat mereda.

Penelitian ini juga mengindikasikan bahwa media Australia mungkin memainkan peran dalam meningkatnya tingkat panic buying. Video-video orang berebut tisu toilet yang mendapat perhatian di media Australia dianggap sebagai faktor penting. Peneliti berusaha memahami mengapa panic buying meningkat pada waktu tertentu dan menyimpulkan bahwa penularan virus dan pengumuman pemerintah adalah dua faktor yang mempengaruhi panic buying di negara-negara lain, namun model ini tidak berlaku dengan baik untuk Australia.

Meskipun situasi di supermarket telah kembali normal, upaya terus dilakukan untuk memastikan ketersediaan barang yang cukup di seluruh negara. Data pencarian Google digunakan sebagai pelengkap data penjualan tradisional untuk mengukur panic buying, terutama di negara-negara yang tidak memiliki data penjualan yang memadai. Penggunaan Google memungkinkan perbandingan internasional dan mengungkapkan kecepatan dengan mana panic buying muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun