Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Babad Ikhwan Mistis: Refleksi, Redefinisi, Reformasi

25 Januari 2021   17:37 Diperbarui: 25 Januari 2021   17:45 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkaca dari pengalaman pahit aksi demonstrasi menentang UU Bahaya yang diwarnai dengan berbagai macam masalah, mulai dari fitnah, kekerasan, serta tindakan represif tak ayal membuat perasaan dan pikiran para anggota ikhwan mistis khususnya dipenuhi keresahan dan juga kekecewaan. Bagaimana tidak, kehendak tulus mereka yang berangkat dari kesadaran kritis malah dituding oleh banyak pihak sebagai pergerakan yang tidak murni, tidak jelas, dan bahkan hampir seluruh media mengatakan demonstrasi tersebut ditunggangi para elit politik, terkhusus kubu oposisi.

Ramainya berita yang menyudutkan golongan muda yang mengikuti aksi justru dalam pandangan para anggota ikhwan mistis justru menjadi tanda serta bukti bahwa independensi dari media dalam meliput dan menyampaikan berita sudah mulai terhegemoni oleh kekuasaan. Pasalnya bukan kali ini saja gerakan demonstrasi disudutkan oleh media, sudah banyak atau bahkan setiap aksi mahasiswa distigmakan tidak baik oleh media. Sementara itu pemberitaan soal kinerja pemerintah yang tak seberapa justru di lambungkan setinggi-tingginya.

Menyikapi kenyataan nahas ini, Wahyu, Bursh, dan Ical tak henti-hentinya mengajak para anggota lain untuk tetap bisa fokus pada idealismenya seraya tidak terlena oleh pemberitaan media yang belum tentu kebenarannya. Tepatnya pada sore hari setelah selesai mata kuliah terakhir mereka bertiga seperti lazimnya ikhwan mistis yang bernasib lajang, mereka tak segera meninggalkan area kampus, karena jikapun pulang ke rumah atau kos-kosan hanya sepi dan sedu yang akan dirasa.

Selasar masjid kemudian menjadi tempat berlabuh dan menuangkan segala keresahan hidup yang mereka rasakan. Karpet, mimbar, dan bahkan kotak amal sudah seperti keluarga bagi mereka, jikalau tak ada anggota lain pun yang merapat disana, mereka akan tetap meluangkan waktu untuk merebah dan mengeluh walaupun ketiga benda mati tadi sebagai temannya.

Dalam heningnya suasana sore itu, sambil menggeletakan badannya di teras masjid, Ical membuka pembicaraan.

"Bro, nggak tau sampai kapan gerakan ini akan terus-terusan di gembosi, ini jelas sih mengurangi nilai kita di mata masyarakat" Keluh Ical sambil menatap langit-langit masjid.

Wahyu yang juga tengah merebahkan badannya tak segera menjawab, matanya sayu mengamati sekeliling masjid, mulutnya komat-kamit tak jelas apa yang hendak ia ucapkan. Ia kelihatan bingung dan sepertinya tidak tertarik untuk menjawab pernyataan Ical. Bursh selama beberapa saat juga belum menunjukan reaksi dan ketertarikan atas pernyataan Ical, sampai kemudian ia mengeluarkan secarik kertas dari ranselnya.

"Begitulah, Cal" Ujar Bursh sambil menyelipkan pulpen di sela-sela daun telinga kanannya.

"Realitas sosial, hukum, terutama politik kita sudah sejak lama memang picik. Sejarah sudah banyak mencatat bahwa gerakan-gerakan berkesadaran kritis seperti apa yang kita lakukan beberapa waktu lalu adalah musuh bagi penguasa. Gerakan moral, gerakan yang membela rakyat yang tertindas pasti dan hampir akan selalu mengalami intimidasi, itu sudah menjadi fitrah bagi negara yang dikelola secara konsevatif dan otoriter".

Dari gaya tuturnya, terlihat keseriusan dari Bursh dalam menyampaikan argumennya, Ical lantas segera bangkit dari posisi tidurnya. Perlahan ia bangun lalu meneguk air dari botol minumnya. Ical tampak tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Bursh.

"Nah, gua sepakat, jika kedepannya terus begini, rasa-rasanya ini akan makin memperburuk eksistensi gerakan kita, karena masyarakat awam pasti akan terbawa arus dan frame yang disetting sama media".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun