Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komodifikasi Janji

30 November 2019   21:06 Diperbarui: 30 November 2019   21:08 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata merupakan hal yang sangat mudah dijadikan alat untuk menguasai suatu maksud. Sejak dahulu kata sudah memegang kuasa dalam menjinakan berbagai objek, terutama manusia.

Bahkan saking tingginya derajat kata atau secara lebih umum dikenal sebagai bahasa, salah satu guru pernah berkata, jika filsafat merupakan ibu dari ilmu pengetahuan, maka bahasa atau kata adalah bapaknya ilmu pengetahuan.

Begitu superiornya peran bahasa dalam kehidupan dan sejarah peradaban manusia, tak pelak membuat bahasa bahkan hingga saat ini fungsinya tidak hanya saja sebagai penyampai informasi, sebagai contoh dalam dunia politik, ia juga bisa dipakai untuk menaikan dan juga mempertahankan esksistensi. Fenomena inilah yang biasanya kita lihat dalam berbagai forum politik yang ada.

Kita mungkin sering melihat, baik secara langsung atau lewat tayangan televise, internet dan lain sebagainya, ketika sedang dalam suasana politik yang kental, bahasa atau kata seringkali muncul dibagian paling depan, sebagai penyampai informasi untuk bisa dilahap oleh publik, lewat untaian kata-kata manis juga menggoda.

Ya, bahasa manis itu kemudian menghasilkan janji dan sumpah oleh si penyampainya. Bahasa yang mereka gunakan bertansformasi menjadi janji, seringkali terdengar dengan suara yang meledak-ledak, intonasi tinggi, ditunjang pula lewat raut wajah penuh keseriusan. Tujuannya tak lain hendak mendulang perolehan suara sebanyak-banyaknya.

Sayangnya, janji yang seharusnya terikat dengan makna, sesekali atau bahkan seringkali melenceng dari koridornya, yaitu suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Janji sebagai produk bahasa yang suci dan bernilai luhur, lama-lama kian luntur dengan maraknya bentuk pengkhianatan atasnya. Maka wajar bila masyarakat menjadi skeptis dengan kata "Janji".

Masyarakat mulai jenuh terhadap janji, banyak yang kini beranggapan bahwa janji hanya omong kosong belaka. Kini nasib janji begitu memprihatinkan, ia seolah dibuang tuhan dari surganya. Ia menjadi kehilangan makna dan kesuciannya. Saking kecewanya masyarakat, terkadang janji tak lagi mendapatkan kesempatan untuk bertamu, dan mencoba memberi keyakinan ke dalam relung hati mereka.

Tentu janji tak bisa kita salahkan, duduk persoalannya justru terdapat pada manusia sebagai pengguna janji itu sendiri. Banyak manusia telah abai dalam menggunakan janji. Bahkan ada juga yang terang-terangan membuat janji sebagai barang dagangan. Janji ini dan itu tanpa niat untuk menepatinya, adalah salah satu bentuk kejahatan paling kejam.

Janji yang seharusnya mampu memberikan ketentaraman pada publik, jika tidak digunakan secara bijaksana justru akan menimbulkan kekisruhan. Ia akan menyebabkan daya rusak yang luar biasa.

Secara fisik mungkin masyarakat terlihat baik-baik saja, namun jika ditelisik lebih dalam, secara psikis jiwa mereka terluka, hati mereka berlumuran darah, pengkhianatan, sekali lagi memang amat memilukan.

Apalagi di era post truth macam sekarang, tingkat kepercayaan masyarakat akan janji menjadi sangat minim. Di satu sisi, ada factor yang menguntungkan ketika masyarakat tidak mudah percaya, itu menandakan masyarakat sudah mulai kritis. Namun, di sisi lain, secara tidak sadar, makna dari janji mulai tereduksi sampai habis, seolah-olah janji bukanlah sesuatu suci.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun