Sepatutnya pendidikan dilaksanakan dalam mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia. Begitu idealnya. Pendidikan adalah suatu hal yang menjungjung tinggi asas keberagaman. Ya, pendidikan bisa juga dikatakan sebagai pengejawantahan dari semboyan negara kita yaitu "Bhinneka Tunggal Ika".
Agenda besar pendidikan dalam mengembangkan potensi pelajar adalah dengan memberikan asupan ilmu yang bermanfaat bagi mereka. Hanya saja terkadang bukti yang kita dapat dari output pendidikan masih jauh dari kata mengembangkan potensi. Para pelajar justru kebanyakan tidak mampu mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya.
Terkhusus bagi sekolah. Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal peran sekolah belum begitu efektif dan secara merata mengembangkan beragam potensi pelajar kita. Hal yang terjadi bukan mengembangkan potensi, tapi malah mengambangkan potensi. Ya, potensi para pelajar kita cenderung menjadi mengambang karena tak mampu diasah secara optimal.
Kegamangan seperti ini terjadi tentu karena banyak faktor. Selain faktor guru dan infrastruktur, faktor kuriklum pun perlu menjadi sorotan. Kurikulum sebagai kerangka pembelajaran yang harus ditempuh oleh pelajar kita seringkali menjadi penghambat utama mengapa pendidikan tak jua mampu mengembangkan potensi para pelajar kita.
Desain kurikulum yang seragam menjadikan pelajar kehilangan lahan untuk mengekspresikan diri. Penetapan aturan baku misalnya saja tentang buku pelajaran di SD yang kini diseragamkan secara nasional, makin membuat anak terkerangkeng potensinya. Itu jelas menjadikan pelajar hanya dijejali dengan materi - materi yang terkadang tidak kontekstual dengan pengalaman belajar mereka.
Jelas pelajar kita hanya mengalami proses robotisasi dari desain pendidikan model begini. Jika kita bandingkan dengan negara lain, misalnya Finlandia, kurikulum mereka tergolong luwes, tidak kaku dan baku seperti yang diterapkan di Indonesia. Para guru lah yang kemudian ditunjuk sebagai pendesain kurikulum yang utama. Pelajar disana tidak dipaksa untuk mengkonsumsi kurikulum nasional buatan pemerintah secara mentah, namun mereka mengkonsumsinya setelah kemudian diolah dan diracik kembali oleh para guru.
Ya, pelajar kita ibarat robot. Ia disetel dan di desain hanya untuk mengerjakan ini itu. Ia menjadi tak bergairah di sekolah. Kerjaannya hanya mengerjakan soal dan mendengar ceramah dari guru. Tidak semua sekolah memang menjalankan pendidikan yang statis seperti ini. Namun tidak sedikit, bahkan banyak juga sekolah yang menjalankan proses pendidikan gaya robot tersebut.
 Pelajar tidak diberi ruang untuk mengekspresikan diri. Ia terkekang oleh cengkraman kurikulum. Tak jarang mereka hanya diperbolehkan duduk saja di kelas. Jika ada yang berani berbuat macam-macam tentu guru seolah bersikap represif kepada mereka. Ini pulalah yang menjadikan para pelajar kita menjadi lemah daya nalar dan kritisnya.
Kemudian fakor guru. Tentu saja guru sebagai desainer kurikulum harusnya tidak ikut - ikutan teledor dalam mengaplikasikan kurikulum nasional. Tapi, bagaimana mau dikata, memang guru pun menjadi kehilangan ruang gerak untuk memodifikasi kurikulum dan bahan ajar. Ia terbentur aturan yang melingkupinya. Seperti dengan kehadiran buku guru dan siswa yang secara perlahan mematikan kreatifitas guru, dan tentu saja ini membuatnya menjadi bergantung hanya kepada buku guru, sedangkan tugas utamanya sebagai perancang kurikulum di pembelajaran menjadi terbengkalai.
Ketika guru kehilangan sentuhan kreasinya untuk merancang pembelajaran yang kontekstual dengan keadaan para muridnya, lantas guru ini akan mengajar kepada siapa sebenarnya ? Jika hanya menggunakan buku guru yang cakupannya sangat umum, tentu tidak akan sesuai dengan kondisi real dengan kelas yang diajarnya. Tentu ini merugikan muridnya dan guru itu sendiri.
Bukan hanya pelajar yang seolah menjadi robot disini, otomatis gurunya pun mengalami hal yang sama. Sudah sepatutnya para pemangku kebijakan kita paham akan esensi pendidikan yang tujuannya adalah untuk memanusiakan mansuia. Dan dalam rangka pemanusiaannya itu sendiri tentu harus dilakukan dengan cara - cara yang manusiawi, dimana hak-haknya untuk mengekspresikan dirinya tidak direnggut.