Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Mental Sedunia. Hal ini menjadi pengingat penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa. Momen ini juga menjadi kesempatan bagi kita untuk lebih peduli dan empati terhadap mereka yang sedang berjuang mengatasi penyakit mentalnya.
Suatu hari, saya dan teman saya mendengar berita ada seorang ibu yang depresi ketika baru melahirkan. Teman saya kemudian berkomentar kenapa para perempuan di masa sekarang gampang stres, padahal orang tua zaman dulu punya anak banyak baik-baik saja.
Saat itu saya tidak menanggapinya karena sedang malas. Maunya sih bilang gini: kamu lihat sendiri, dulu gak banyak orang sakit kanker, tapi kenapa sekarang jadi banyak orang sakit kanker? Penyakit jiwa juga sama. Beda zaman, beda tantangan.
Perlu diakui, masalah kesehatan mental memang masih dipandang remeh oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Mereka yang punya masalah mental biasanya dicap kurang iman. Padahal belum tentu begitu.
Ketahanan mental seseorang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Apalagi jika seseorang berasal dari keluarga yang rentan sakit mental.
Setiap keluarga biasanya punya potensi penyakit masing-masing, seperti ada keluarga yang kejadian diabetesnya tinggi, ada keluarga yang rentan penyakit darah tinggi, atau ada keluarga yang harus menghadapi masalah infertilitas.
Saya mau berbagi cerita tentang ibu dari rekan kerja saya dulu. Ibunya berasal dari generasi pra-boomers. Ketika anak ketiganya yang masih bayi meninggal, mental ibunya sangat down.
Dia tidak bicara, sering melamun, dan tidak punya gairah hidup. Rasa kehilangannya sangat dalam sampai dua anak yang lainnya pun tidak dia pedulikan. Kalau zaman sekarang, kita langsung tahu jika ibu tersebut kemungkinan besar depresi dan perlu pertolongan psikiater.
Tapi karena kejadiannya tahun 1960-an, akses ke psikiater tidak semudah sekarang. Mereka juga merupakan keluarga pas-pasan. Syukurlah, suami dan keluarganya mengerti.
Si ibu tidak dihakimi sebagai orang yang terlalu cengeng, kurang iman, atau lemah. Keluarga besarnya lalu bersedia untuk mengurus dua anaknya untuk sementara. Sedangkan suaminya fokus untuk menemani istrinya melewati masa sulit.