Lalu, bagaimana keluar dari lingkaran ini? Pertama-tama, dengan berani menolak kebiasaan "menerima begitu saja." Setiap kali kita menemukan ketidakadilan, sekecil apa pun, kita harus melatih diri untuk menyebutnya sebagai ketidakadilan, bukan sekadar "kenyataan hidup." Penamaan itu penting, karena bahasa adalah pintu kesadaran. Jika kita berhenti menyebut sesuatu sebagai ketidakadilan, maka kesadaran moral kita mati perlahan.
Kedua, kita perlu membangun keberanian untuk bersuara. Ketidakadilan bertahan bukan hanya karena kuat, tetapi karena suara-suara yang menentangnya terlalu lemah. Setiap suara yang menolak bisa menjadi percikan kecil yang memicu perubahan. Persatuan sosial selalu berawal dari keberanian segelintir orang untuk berkata: "ini tidak adil, dan kita tidak bisa menerimanya."
Ketiga, kita harus melawan apatisme dengan solidaritas. Solidaritas bukan berarti semua orang harus sepakat, tetapi semua orang harus saling peduli. Dengan solidaritas, kita bisa merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri. Tanpa solidaritas, ketidakadilan akan terus hidup, karena ia selalu mencari ruang di antara keterpisahan manusia.
Akhirnya, normalisasi ketidakadilan adalah musuh senyap yang jauh lebih berbahaya daripada ketidakadilan itu sendiri. Ia bekerja dengan cara membuat kita terbiasa, membuat kita menyerah, membuat kita berhenti berharap. Jika kita membiarkannya, maka kita sedang menyiapkan masa depan yang lebih gelap bagi generasi berikutnya. Tetapi jika kita berani menolak, meski mulai dari hal kecil, kita sedang menjaga martabat kita sebagai manusia. Dan hanya dengan menjaga martabat itulah, kita bisa membangun masyarakat yang benar-benar adil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI