Mohon tunggu...
Rahma Hairunnisa Regita Putri
Rahma Hairunnisa Regita Putri Mohon Tunggu... Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Saya, Rahma Hairunnisa Regita Putri, adalah seorang penulis dan pembisnis yang aktif menyoroti isu-isu pendidikan, ekonomi, dan politik. Saat ini, saya menulis untuk Bernas dan Kompasiana sebagai wadah berbagi gagasan serta analisis. Saya percaya bahwa tulisan dapat membuka wawasan, menginspirasi perubahan, dan menjadi alat refleksi bagi masyarakat. â € Saya berasal dari Universitas Citra Mandiri Indonesia (UNICIMI) dengan program studi Manajemen. Ketertarikan saya mencakup kepemimpinan strategis, kebijakan publik, serta tantangan ekonomi global. Selain itu, saya juga memiliki minat dalam riset dan pengembangan literasi, khususnya dalam mendorong generasi muda untuk lebih kritis dan inovatif dalam berpikir. Mari berdiskusi dan bertukar ide bersama!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bahaya Normalisasi Ketidakadilan Dalam Kehidupan Sehari-hari

5 Oktober 2025   06:29 Diperbarui: 5 Oktober 2025   06:29 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, bagaimana keluar dari lingkaran ini? Pertama-tama, dengan berani menolak kebiasaan "menerima begitu saja." Setiap kali kita menemukan ketidakadilan, sekecil apa pun, kita harus melatih diri untuk menyebutnya sebagai ketidakadilan, bukan sekadar "kenyataan hidup." Penamaan itu penting, karena bahasa adalah pintu kesadaran. Jika kita berhenti menyebut sesuatu sebagai ketidakadilan, maka kesadaran moral kita mati perlahan.

Kedua, kita perlu membangun keberanian untuk bersuara. Ketidakadilan bertahan bukan hanya karena kuat, tetapi karena suara-suara yang menentangnya terlalu lemah. Setiap suara yang menolak bisa menjadi percikan kecil yang memicu perubahan. Persatuan sosial selalu berawal dari keberanian segelintir orang untuk berkata: "ini tidak adil, dan kita tidak bisa menerimanya."

Ketiga, kita harus melawan apatisme dengan solidaritas. Solidaritas bukan berarti semua orang harus sepakat, tetapi semua orang harus saling peduli. Dengan solidaritas, kita bisa merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri. Tanpa solidaritas, ketidakadilan akan terus hidup, karena ia selalu mencari ruang di antara keterpisahan manusia.

Akhirnya, normalisasi ketidakadilan adalah musuh senyap yang jauh lebih berbahaya daripada ketidakadilan itu sendiri. Ia bekerja dengan cara membuat kita terbiasa, membuat kita menyerah, membuat kita berhenti berharap. Jika kita membiarkannya, maka kita sedang menyiapkan masa depan yang lebih gelap bagi generasi berikutnya. Tetapi jika kita berani menolak, meski mulai dari hal kecil, kita sedang menjaga martabat kita sebagai manusia. Dan hanya dengan menjaga martabat itulah, kita bisa membangun masyarakat yang benar-benar adil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun