Oleh Laurensius Bagus, Mahasiswa Universitas Cokroaminoto YogyakartaÂ
Ada sebuah kebiasaan yang makin lama makin berbahaya dalam kehidupan sosial kita: menerima ketidakadilan seakan-akan ia adalah sesuatu yang wajar. Kita sering kali mengeluh tentang kemacetan, pungutan liar, pelayanan publik yang lambat, harga kebutuhan pokok yang terus naik, atau ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Tetapi, anehnya, keluhan itu berhenti di meja obrolan tanpa pernah benar-benar berubah menjadi dorongan untuk memperbaiki. Ketidakadilan diterima sebagai "realitas yang harus dijalani," seolah-olah memang begitulah cara dunia bekerja. Inilah yang saya sebut normalisasi ketidakadilan, dan bahayanya jauh lebih besar daripada ketidakadilan itu sendiri.
Normalisasi ketidakadilan membuat masyarakat kehilangan kepekaan moral. Ketika pungutan liar dianggap "sudah biasa," ketika korupsi dianggap "resiko jabatan," atau ketika pelayanan buruk dianggap "nasib rakyat kecil," maka rasa marah yang seharusnya muncul perlahan hilang. Tanpa kemarahan moral, masyarakat berhenti menuntut perubahan. Ketidakadilan bukan lagi sesuatu yang salah, melainkan sekadar rutinitas yang harus dijalani. Pada titik ini, ketidakadilan bukan hanya dibiarkan, tetapi dipelihara oleh ketidakpedulian.
Lebih berbahaya lagi, normalisasi ketidakadilan membuat generasi baru tumbuh dalam ilusi bahwa hidup memang seharusnya timpang. Anak-anak yang menyaksikan orang tuanya menyerah pada sistem yang korup akan belajar bahwa melawan itu percuma. Mereka akan menelan mentah-mentah pesan bahwa "kalau mau sukses, ikut arus saja." Dengan demikian, ketidakadilan tidak hanya bertahan, tetapi juga diwariskan. Ia menempel dalam budaya sehari-hari, menjadi semacam kebijaksanaan palsu yang diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketidakadilan yang sudah dinormalisasi juga mengikis keberanian masyarakat untuk bersuara. Orang takut dianggap rewel, terlalu idealis, atau bahkan berbahaya jika terlalu vokal menentang sesuatu. Lebih aman diam, mengikuti arus, dan mencari jalan pintas untuk bertahan hidup. Tetapi, inilah yang sesungguhnya membuat ketidakadilan semakin kuat. Kekuasaan yang menyalahgunakan wewenang tidak pernah perlu bekerja keras menekan, karena masyarakat sendiri sudah lebih dulu memilih diam. Pada akhirnya, diam itu menjadi bentuk persetujuan, dan persetujuan itu memberi ruang lega bagi ketidakadilan untuk tumbuh subur.
Ketidakadilan yang dinormalisasi juga merembes ke dalam relasi sehari-hari. Misalnya, ketika perempuan dianggap wajar mendapat perlakuan diskriminatif di ruang kerja, atau ketika buruh dianggap biasa digaji rendah karena "sudah untung masih punya pekerjaan." Normalisasi ini membuat pelanggaran hak tidak lagi dipandang sebagai masalah hukum atau moral, tetapi sebagai konsekuensi sosial yang harus diterima. Begitu kita terbiasa dengan pandangan ini, batas antara yang adil dan tidak adil menjadi kabur. Masyarakat kehilangan kompas moralnya, dan itu berarti kita semua berjalan tanpa arah.
Dalam konteks politik, normalisasi ketidakadilan tampak lebih telanjang. Janji kampanye yang diingkari dianggap lumrah, praktik politik uang dianggap hal biasa, dan lemahnya penegakan hukum dianggap tidak bisa diubah. Sikap pasrah ini membuat demokrasi kehilangan makna. Demokrasi yang seharusnya hidup dari partisipasi warga justru menjadi panggung segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat menonton dalam diam. Kita lupa bahwa demokrasi hanya bisa sehat jika warganya tidak berhenti menuntut keadilan.
Ketidakadilan ekonomi juga mengalami hal serupa. Ketika segelintir orang menguasai kekayaan dalam jumlah luar biasa, sementara sebagian besar masyarakat berjuang sekadar untuk bertahan hidup, seharusnya kita merasa ada yang salah. Tetapi apa yang terjadi? Ketimpangan ini justru dinormalisasi dengan anggapan bahwa "memang rezeki orang berbeda-beda." Padahal, banyak ketidakadilan ekonomi lahir bukan dari perbedaan bakat atau kerja keras, melainkan dari struktur yang timpang: akses pendidikan yang tidak merata, kesempatan kerja yang terbatas, hingga sistem ekonomi yang lebih berpihak pada modal besar. Selama ketidakadilan ini kita anggap lumrah, jurang ketimpangan akan terus melebar.
Bahaya lain dari normalisasi ketidakadilan adalah lahirnya apatisme kolektif. Masyarakat yang apatis adalah masyarakat yang berhenti berharap. Mereka tidak lagi percaya bahwa perubahan mungkin terjadi, sehingga memilih sibuk dengan urusan pribadi masing-masing. Dalam jangka panjang, apatisme ini merusak solidaritas sosial. Tidak ada lagi rasa tanggung jawab bersama, karena semua orang hanya memikirkan cara menyelamatkan dirinya sendiri. Padahal, tanpa solidaritas, sebuah bangsa akan rapuh menghadapi krisis.
Kita harus berani menyebut bahwa normalisasi ketidakadilan adalah bentuk perlawanan terhadap martabat manusia. Martabat berarti pengakuan bahwa setiap orang berhak diperlakukan adil dan manusiawi. Tetapi ketika ketidakadilan dinormalisasi, martabat itu runtuh, karena manusia diperlakukan sekadar sebagai objek yang bisa dieksploitasi. Dengan kata lain, normalisasi ketidakadilan adalah cara paling halus untuk menolak martabat manusia, dan itu jauh lebih berbahaya daripada penindasan yang terang-terangan.
Lalu, bagaimana keluar dari lingkaran ini? Pertama-tama, dengan berani menolak kebiasaan "menerima begitu saja." Setiap kali kita menemukan ketidakadilan, sekecil apa pun, kita harus melatih diri untuk menyebutnya sebagai ketidakadilan, bukan sekadar "kenyataan hidup." Penamaan itu penting, karena bahasa adalah pintu kesadaran. Jika kita berhenti menyebut sesuatu sebagai ketidakadilan, maka kesadaran moral kita mati perlahan.
Kedua, kita perlu membangun keberanian untuk bersuara. Ketidakadilan bertahan bukan hanya karena kuat, tetapi karena suara-suara yang menentangnya terlalu lemah. Setiap suara yang menolak bisa menjadi percikan kecil yang memicu perubahan. Persatuan sosial selalu berawal dari keberanian segelintir orang untuk berkata: "ini tidak adil, dan kita tidak bisa menerimanya."
Ketiga, kita harus melawan apatisme dengan solidaritas. Solidaritas bukan berarti semua orang harus sepakat, tetapi semua orang harus saling peduli. Dengan solidaritas, kita bisa merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri. Tanpa solidaritas, ketidakadilan akan terus hidup, karena ia selalu mencari ruang di antara keterpisahan manusia.
Akhirnya, normalisasi ketidakadilan adalah musuh senyap yang jauh lebih berbahaya daripada ketidakadilan itu sendiri. Ia bekerja dengan cara membuat kita terbiasa, membuat kita menyerah, membuat kita berhenti berharap. Jika kita membiarkannya, maka kita sedang menyiapkan masa depan yang lebih gelap bagi generasi berikutnya. Tetapi jika kita berani menolak, meski mulai dari hal kecil, kita sedang menjaga martabat kita sebagai manusia. Dan hanya dengan menjaga martabat itulah, kita bisa membangun masyarakat yang benar-benar adil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI