Di balik setiap kanvas kosong, terkadang tersembunyi kisah yang tak sempat dituliskan dalam buku sejarah. Kaboel Suadi Wangsapermana, atau lebih dikenal dengan Kaboel Suadi, ayah saya, bukan sekadar guru besar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), bukan pula sekadar pelopor seni grafis Indonesia moden. Ia adalah sebuah enigma: seniman, akademisi, sekaligus saksi senyap dalam pusaran sejarah yang kelam dan penuh teka-teki.
Lahir di Cirebon, 7 November 1935, masa kecilnya tampak biasa: SD hingga SMP di kota kelahirannya, lalu menempuh SMA Negeri 6 Jakarta Selatan. Namun begitu masuk ITB dan memilih jurusan Arsitektur dan Seni Rupa, hidupnya mulai bersinggungan dengan lorong-lorong gelap politik nasional. Seni ternyata bukan sekadar persoalan garis, warna, dan ruang - bisa bisa menjadi alat, bisa pula menjadi senjata.
Pada tahun 1964, Kaboel baru saja menanggalkan status mahasiswa. Namun sebelum ia sempat merayakan kelulusan, seseorang dari dunia lain memanggilnya. Kolonel Soemitro Sastrodihardjo  - perwira intelijen militer - meminta Kaboel melakukan tugas yang hanya cocok untuk pria tanpa cela dalam integritas: memberi informasi tentang LEKRA, Lembaga Kebudayaan Rakyat, organ budaya dari Partai Komunis Indonesia.
Kaboel, yang sebelumnya telah menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) tahun 1963 bersama tokoh-tokoh seperti Goenawan Mohammad dan Taufiq Ismail, paham bahwa tugas itu lebih dari berbahaya. Di dalam LEKRA, seni adalah alat perjuangan politik. Ia mengusung jargon seni untuk rakyat dan mengutuk mereka yang dianggap "borjuis", termasuk Kaboel sendiri. Dari sinilah badai datang.
Hari-hari di bawah bayang LEKRA menjadi beban yang menekan. Beberapa karyanya lenyap dicuri; sindiran-sindiran berubah menjadi ancaman. Namun Kaboel tetap melaporkan segala yang ia lihat dan dengar pada Kolonel Soemitro. Hingga akhirnya, pada akhir September 1965, ia diminta pulang ke Cirebon oleh Soemitro. "Situasi makin panas," begitu pesan pendek Soemitro.
Lima hari kemudian, pecahlah tragedi 30 September 1965 --- sebuah episode sejarah yang mengguncang negeri. Ketika Kaboel kembali ke Bandung pada 5 Oktober atas perintah Soemitro, sebuah kabar menyeruak: kontrakan kecilnya di Jalan Cisitu Baru telah digeruduk oleh Pemuda Rakyat, dan Kaboel masuk daftar target. Di saat bersamaan, tetangganya  -  seorang warga Amerika yang mengaku tengah riset untuk disertasi -  mendadak raib. Konon, ia agen CIA.
Setelah badai mereda, Kaboel tak kembali ke dunia intelijen. Tahun 1967, ia menjejak tanah Jerman Barat, menempuh studi seni di Hochschule fur Bildende Kunste. Dua tahun kemudian, bersama B.J. Habibie yang berteman sejak kuliah dan sedang studi di Aachen, ia dipanggil pulang ke Indonesia oleh Ibnu Sutowo atas perintah Presiden Soeharto. Habibie diminta merintis industri dirgantara, sedangkan Kaboel ditugaskan merancang konsep Taman Mini Indonesia Indah --- proyek budaya berskala nasional.
Dalam perjalanan hidupnya, Kaboel memilih jalan sepi: pendidikan. Ia ikut mendirikan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan jurusan seni rupa Universitas Trisakti. Hingga akhir hayatnya pada 29 September 2010, ia tetap setia pada ruang kelas dan studio seni, mengajar di dalam negeri dan luar negeri, termasuk di Braunschweig, Jerman, dan Kyung Sung University, Korea.
Jejak dan Nilai: Sebuah Refleksi
Kisah Kaboel Suadi bukan hanya narasi sejarah; ia adalah pelajaran tentang keberanian, integritas, dan pilihan. Di tengah kekacauan politik, ia berdiri di garis tipis antara seni dan intelijen, antara idealisme dan realpolitik. Ia memilih tidak larut dalam kekuasaan, tetapi setia pada prinsip --- bahwa seni, baginya, adalah ruang kebebasan, bukan alat propaganda.