Mohon tunggu...
Rahadi Wangsapermana
Rahadi Wangsapermana Mohon Tunggu... Pemerhati Perang Asimetris

Kemajuan bangsa sangat bergantung pada kepemimpinan yang memahami kearifan lokal, mengoptimalkan kekuatan agraris dan maritim, serta menjaga kebhinnekaan dari ancaman perang asimetris, baik secara internal maupun eksternal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Senang Ditakut-takuti atau Memang Penakut?

28 Juli 2025   16:16 Diperbarui: 28 Juli 2025   16:16 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rahadi Wangsapermana dan Freddie Kruger, Sumber : Istimewa

Penonton datang tak peduli sinematografi seadanya atau naskah yang tipis. Karena bukan narasi yang dicari, tapi sensasi. Degup jantung, teriakan mendadak, dan deru napas saat kredit akhir bergulir - semua itu adalah paket "pengalaman" yang dibeli.

Di ruang gelap bioskop, rasa takut berubah menjadi bisnis yang menjanjikan.

Katarsis dalam Keterbatasan

Di tengah tekanan hidup - dari kemacetan, beban kerja, hingga ketidakpastian sosial - film horor memberi katarsis. Ironisnya, rasa takut di bioskop memberi kelegaan karena itu adalah "takut yang aman". Kita tahu bahwa saat keluar bioskop, semua itu tidak nyata.

Dalam masyarakat yang masih banyak menekan ekspresi emosi, terutama ketakutan dan kecemasan, film horor jadi jalan keluar untuk menyalurkan emosi terpendam. Jeritan, tegang, dan tawa gugup di bioskop menjadi pelepasan stres yang efektif.

Hormonal dan Otak Manusia

Secara ilmiah, rasa takut memang candu. Saat terkejut, otak melepaskan adrenalin. Detak jantung naik, tubuh siaga. Tapi segera setelah itu, datang endorfin, hormon penenang. Kombinasi ini menciptakan sensasi lega -- bahkan kenikmatan. Inilah mengapa banyak orang "ketagihan takut".

Amygdala, pusat pengolah emosi di otak, bekerja keras selama film horor. Ia memproses ancaman -- meski fiktif -- seolah nyata. Tapi logika kalah. Otak lebih memilih sensasi. Maka penonton terus datang. Bukan karena bodoh. Tapi karena otaknya memang menginginkannya.

Rahadi Wangsapermana dan Freddie Kruger, Sumber : Istimewa
Rahadi Wangsapermana dan Freddie Kruger, Sumber : Istimewa

Antara Penakut dan Pemberani

Maka lahirlah paradoks: apakah kita penakut atau justru pemberani? Menonton horor sejatinya adalah latihan. Kita menghadapi ketakutan dalam ruang aman. Kita menjerit, lalu tertawa. Kita belajar bahwa rasa takut bisa dikendalikan -- meski hanya di bioskop.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun