Penonton datang tak peduli sinematografi seadanya atau naskah yang tipis. Karena bukan narasi yang dicari, tapi sensasi. Degup jantung, teriakan mendadak, dan deru napas saat kredit akhir bergulir - semua itu adalah paket "pengalaman" yang dibeli.
Di ruang gelap bioskop, rasa takut berubah menjadi bisnis yang menjanjikan.
Katarsis dalam Keterbatasan
Di tengah tekanan hidup - dari kemacetan, beban kerja, hingga ketidakpastian sosial - film horor memberi katarsis. Ironisnya, rasa takut di bioskop memberi kelegaan karena itu adalah "takut yang aman". Kita tahu bahwa saat keluar bioskop, semua itu tidak nyata.
Dalam masyarakat yang masih banyak menekan ekspresi emosi, terutama ketakutan dan kecemasan, film horor jadi jalan keluar untuk menyalurkan emosi terpendam. Jeritan, tegang, dan tawa gugup di bioskop menjadi pelepasan stres yang efektif.
Hormonal dan Otak Manusia
Secara ilmiah, rasa takut memang candu. Saat terkejut, otak melepaskan adrenalin. Detak jantung naik, tubuh siaga. Tapi segera setelah itu, datang endorfin, hormon penenang. Kombinasi ini menciptakan sensasi lega -- bahkan kenikmatan. Inilah mengapa banyak orang "ketagihan takut".
Amygdala, pusat pengolah emosi di otak, bekerja keras selama film horor. Ia memproses ancaman -- meski fiktif -- seolah nyata. Tapi logika kalah. Otak lebih memilih sensasi. Maka penonton terus datang. Bukan karena bodoh. Tapi karena otaknya memang menginginkannya.
Antara Penakut dan Pemberani
Maka lahirlah paradoks: apakah kita penakut atau justru pemberani? Menonton horor sejatinya adalah latihan. Kita menghadapi ketakutan dalam ruang aman. Kita menjerit, lalu tertawa. Kita belajar bahwa rasa takut bisa dikendalikan -- meski hanya di bioskop.