Namun menjadi naif pun bukan pilihan. Menganggap semua baik-baik saja adalah pintu masuk bagi manipulasi. Maka, sikap terbaik adalah tenang tapi waspada, cerdas tapi rendah hati. Kita perlu mengembangkan daya kritis, memperluas literasi informasi, dan belajar mengenali pola propaganda.
Waspada bukan berarti takut. Tapi sadar bahwa tak semua yang tampak di permukaan adalah kebenaran. Kita mesti belajar membaca yang tak tertulis, mendengar yang tak dikatakan.
Kecerdasan Sipil di Tengah Bayang-Bayang
Intelijen adalah bagian sah dari pertahanan negara. Tapi jika semua dibaca sebagai operasi intelijen, kita akan hidup dalam ketakutan. Maka dibutuhkan apa yang oleh banyak pemikir disebut sebagai civilian intelligence---kecerdasan sipil.
Ini bukan soal menjadi mata-mata. Tapi soal menjadi warga negara yang melek informasi, punya kesadaran politik, tapi tetap menjunjung logika dan etika. Karena bangsa yang kuat bukan yang hanya punya senjata, tapi yang rakyatnya tidak mudah diombang-ambing narasi.
Seperti kata Noam Chomsky, intelektual Amerika: "The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum."
Pemerintah atau kekuatan luar bisa mengatur keramaian debat publik---asal arah pikirannya tetap bisa dikendalikan.
Penutup: Hidup Tenang, Tapi Tak Tertidur
Kita tak harus jadi detektif. Tapi kita harus jadi warga negara yang sadar. Karena dalam perang asimetris, yang tidak sadar adalah korban pertama. Dan dalam operasi intelijen, yang paling mudah dimanipulasi adalah mereka yang merasa tahu segalanya. Maka, tetaplah tenang, tetaplah berpikir jernih, dan jangan lelah untuk memverifikasi.
Dalam sunyi yang penuh jebakan, kecerdasan sipil adalah satu-satunya cahaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI