Dalam birokrasi modern, ini bertransformasi menjadi corporate politeness--etika yang sering kali lebih dekat pada manipulasi daripada kesantunan sejati (Goffman, 1959).
Sejarah dunia mengenal banyak tokoh besar yang menggunakan sugar coating sebagai senjata politik.
Sebut saja Rasputin, penasihat spiritual Tsarina Alexandra dari Rusia, menggunakan kemampuan berbicara lembut, pujian, dan ilusi religius untuk menanamkan pengaruh yang luar biasa di dalam istana Tsar Nicholas II (Fuhrmann, 2013).
Sugar Coating di Kantor: Reinkarnasi dari Sistem Feodal
Jika dilihat lebih dalam, praktik "menjilat atasan" di kantor sebenarnya tidak berbeda jauh dari tradisi feodal yang dahulu hidup di kerajaan.
Hanya saja, kini bentuknya lebih halus: mengirim pesan yang penuh pujian, memuji tanpa alasan substansial, atau berpura-pura setuju dengan keputusan yang keliru.
Dalam pandangan Max Weber (1947), ini merupakan bentuk "rationalized feudalism"--yaitu ketika struktur kekuasaan feodal dibungkus dalam birokrasi modern yang tampak rasional.
Fenomena ini menciptakan "budaya kepatuhan palsu" yang mematikan kreativitas dan kejujuran moral. Karyawan lebih sibuk membangun citra "disukai" ketimbang memperjuangkan ide-ide kritis yang mungkin memperbaiki organisasi.
Hasilnya adalah stagnasi budaya kerja, di mana kompetensi tersingkir oleh loyalitas semu.
Dari perspektif psikologi sosial, sugar coating juga menciptakan ilusi keamanan. Orang yang mempraktikkannya merasa terlindung dari risiko sosial--penolakan, konflik, atau teguran.
Namun dalam jangka panjang, perilaku ini menurunkan integritas pribadi dan menciptakan disonansi kognitif (Festinger, 1957).