Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sugar Coating: "Ngono yo Ngono Ning Ojo Ngono"

10 Oktober 2025   22:15 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:12 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.(Foto: Linkedin.com)

Dalam birokrasi modern, ini bertransformasi menjadi corporate politeness--etika yang sering kali lebih dekat pada manipulasi daripada kesantunan sejati (Goffman, 1959).

Sejarah dunia mengenal banyak tokoh besar yang menggunakan sugar coating sebagai senjata politik.

Sebut saja Rasputin, penasihat spiritual Tsarina Alexandra dari Rusia, menggunakan kemampuan berbicara lembut, pujian, dan ilusi religius untuk menanamkan pengaruh yang luar biasa di dalam istana Tsar Nicholas II (Fuhrmann, 2013).

Sugar Coating di Kantor: Reinkarnasi dari Sistem Feodal

Jika dilihat lebih dalam, praktik "menjilat atasan" di kantor sebenarnya tidak berbeda jauh dari tradisi feodal yang dahulu hidup di kerajaan.

Hanya saja, kini bentuknya lebih halus: mengirim pesan yang penuh pujian, memuji tanpa alasan substansial, atau berpura-pura setuju dengan keputusan yang keliru.

Dalam pandangan Max Weber (1947), ini merupakan bentuk "rationalized feudalism"--yaitu ketika struktur kekuasaan feodal dibungkus dalam birokrasi modern yang tampak rasional.

Fenomena ini menciptakan "budaya kepatuhan palsu" yang mematikan kreativitas dan kejujuran moral. Karyawan lebih sibuk membangun citra "disukai" ketimbang memperjuangkan ide-ide kritis yang mungkin memperbaiki organisasi.

Hasilnya adalah stagnasi budaya kerja, di mana kompetensi tersingkir oleh loyalitas semu.

Dari perspektif psikologi sosial, sugar coating juga menciptakan ilusi keamanan. Orang yang mempraktikkannya merasa terlindung dari risiko sosial--penolakan, konflik, atau teguran.

Namun dalam jangka panjang, perilaku ini menurunkan integritas pribadi dan menciptakan disonansi kognitif (Festinger, 1957).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun