Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sugar Coating: "Ngono yo Ngono Ning Ojo Ngono"

10 Oktober 2025   22:15 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:12 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi atasan dengan karyawan di kantor. (Sumber: preefoto/ Freepik via kompas.com)

Di balik senyum ramah dan kata-kata manis di ruang kerja, sering tersembunyi naluri purba manusia untuk bertahan hidup dalam hierarki kekuasaan.

Sugar coating, istilah yang sering dipahami sebagai bentuk komunikasi yang memperlihatkan kebiasaan "mempermanis kenyataan" bukan sekadar sopan santun modern, melainkan warisan sosial dari zaman feodal.

Dalam sebuah prinsip Jawa dikenal kalimat "Ngono yo ngono ning ojo ngono", apabila diterjemahkan menjadi "Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu". Bertindak boleh, punya keinginan boleh, tapi jangan berlebihan.

Pitutur Jawa ini mungkin analogi yang paling sederhana dan mendalam sekaligus sindiran terhadap praktik sugar coating. Kita bersepakat bahwa praktik tersebut dapat terjadi di hampir semua level jabatan, suku, bangsa, dan tidak peduli kaya atau miskin.

Kini, di balik gedung-gedung perkantoran yang berkilau, praktik itu hidup kembali dalam bentuk yang lebih halus, namun sama berbahayanya: menjilat tanpa merasa menjilat.

Praktik semacam ini tampak dalam bentuk pujian berlebihan kepada atasan, pernyataan diplomatis yang menutupi kebenaran, hingga sikap seolah-olah tunduk untuk mendapat simpati kekuasaan.

Namun, jauh sebelum istilah ini dikenal dalam psikologi organisasi modern, praktik serupa telah menjadi bagian dari peradaban manusia selama berabad-abad.

Dalam konteks sosiologis, sugar coating bukan sekadar perilaku individu, melainkan representasi dari relasi kuasa, hierarki sosial, dan kebutuhan akan pengakuan dalam struktur dominasi (Weber, 1947).

Akar Sejarah: Ketika Menjilat Menjadi Seni Bertahan Hidup

Sejarah manusia menunjukkan bahwa sugar coating berakar pada strategi bertahan hidup di dalam sistem feodal dan kerajaan.

Pada masa kekuasaan monarki Eropa abad pertengahan, kaum bangsawan dan pejabat istana kerap menggunakan kata-kata manis dan pujian hiperbolik untuk mendapatkan tempat di hati raja atau ratu.

Dalam catatan Machiavelli, praktik ini tidak hanya dianggap wajar, tetapi juga esensial dalam permainan kekuasaan: "Orang yang ingin bertahan di istana harus tahu kapan harus berkata benar dan kapan harus menutupi kebenaran demi keselamatan diri" (Machiavelli, The Prince, 1532/1998).

Fenomena ini bahkan tampak dalam sejarah Tiongkok kuno, di mana para pejabat Dinasti Han dan Ming dikenal dengan praktik "basa-basi kekaisaran" (imperial flattery). Para pejabat istana menulis puisi dan surat yang memuji kaisar sebagai "bayangan langit di bumi."

Di zaman Yunani Kuno, orang-orang yang melakukan praktik semacam sugar coating disebut "sycophants". Sementara, di China, disebut dengan "xiehouyu". Kedua istilah itu merujuk pada maksud yang sama: pemujaan berlebihan kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Menurut Fei Xiaotong (1947), ini adalah bentuk "ritual subordinasi," yaitu kebiasaan masyarakat agraris yang berakar pada hubungan patron-klien yang menuntut kesetiaan simbolik melalui kata-kata lembut.

Antara Budaya dan Kekuasaan: Sugar Coating dalam Struktur Sosial Modern

Ilustrasi.(Foto: Linkedin.com)
Ilustrasi.(Foto: Linkedin.com)

Dalam perspektif sosiologi modern, sugar coating bukan sekadar perilaku individu, melainkan mekanisme sosial yang melestarikan hierarki.

Pierre Bourdieu (1977) menjelaskan fenomena ini sebagai bagian dari habitus dan symbolic capital--yakni cara-cara halus untuk mempertahankan posisi dominan melalui pengakuan sosial.

Di tempat kerja, orang yang pandai "berbasa-basi" dengan atasan sering kali mendapat keistimewaan tertentu, meskipun kompetensi profesionalnya tidak selalu menonjol.

Praktik ini kemudian menjadi bagian dari "ritual kantor"--sistem yang tidak tertulis namun menentukan siapa yang "aman secara politik" di organisasi.

Dalam birokrasi modern, ini bertransformasi menjadi corporate politeness--etika yang sering kali lebih dekat pada manipulasi daripada kesantunan sejati (Goffman, 1959).

Sejarah dunia mengenal banyak tokoh besar yang menggunakan sugar coating sebagai senjata politik.

Sebut saja Rasputin, penasihat spiritual Tsarina Alexandra dari Rusia, menggunakan kemampuan berbicara lembut, pujian, dan ilusi religius untuk menanamkan pengaruh yang luar biasa di dalam istana Tsar Nicholas II (Fuhrmann, 2013).

Sugar Coating di Kantor: Reinkarnasi dari Sistem Feodal

Jika dilihat lebih dalam, praktik "menjilat atasan" di kantor sebenarnya tidak berbeda jauh dari tradisi feodal yang dahulu hidup di kerajaan.

Hanya saja, kini bentuknya lebih halus: mengirim pesan yang penuh pujian, memuji tanpa alasan substansial, atau berpura-pura setuju dengan keputusan yang keliru.

Dalam pandangan Max Weber (1947), ini merupakan bentuk "rationalized feudalism"--yaitu ketika struktur kekuasaan feodal dibungkus dalam birokrasi modern yang tampak rasional.

Fenomena ini menciptakan "budaya kepatuhan palsu" yang mematikan kreativitas dan kejujuran moral. Karyawan lebih sibuk membangun citra "disukai" ketimbang memperjuangkan ide-ide kritis yang mungkin memperbaiki organisasi.

Hasilnya adalah stagnasi budaya kerja, di mana kompetensi tersingkir oleh loyalitas semu.

Dari perspektif psikologi sosial, sugar coating juga menciptakan ilusi keamanan. Orang yang mempraktikkannya merasa terlindung dari risiko sosial--penolakan, konflik, atau teguran.

Namun dalam jangka panjang, perilaku ini menurunkan integritas pribadi dan menciptakan disonansi kognitif (Festinger, 1957).

Ketika seseorang terus memaniskan kata demi kenyamanan sosial, ia pada dasarnya menekan kejujuran emosional.

Dalam jangka panjang, organisasi yang penuh "manis-manisan" ini akan menjadi ruang yang toksik: semua tampak ramah di permukaan, namun penuh kepalsuan di balik layar.

Penutup

Praktik sugar coating adalah warisan primitif dari sistem sosial lama yang masih hidup dalam struktur modern. Di kantor, ia menjadi semacam "ritual sosial" yang membungkam kritik dan mengaburkan integritas.

Sosiologi mengajarkan bahwa perubahan sosial dimulai dari keberanian untuk jujur, bahkan ketika kejujuran terasa "asin" di lidah orang lain.

Seperti yang diingatkan George Orwell (1946) dalam esainya Politics and the English Language, "Bahasa yang busuk akan melahirkan pikiran yang busuk."

Artinya, hanya dengan keberanian berbicara apa adanya--tanpa lapisan gula--manusia dapat benar-benar membebaskan diri dari sistem kekuasaan yang memanipulasi.

Referensi:

  • Bourdieu, P. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.
  • Fei, X. (1947). From the Soil: The Foundations of Chinese Society. University of California Press.
  • Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
  • Fuhrmann, J. T. (2013). Rasputin: Faith, Power, and the Twilight of the Romanovs. Vintage.
  • Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.
  • Machiavelli, N. (1998). The Prince. (H. Mansfield, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1532)
  • Najemy, J. M. (1993). Between Friends: Discourses of Power and Desire in the Machiavelli-Vettori Letters of 1513--1515. Princeton University Press.
  • Orwell, G. (1946). Politics and the English Language. Horizon.
  • Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Free Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun