Setiap kali arang membara dicelupkan ke kopi, setiap kali kuning telur dikocok hingga berbusa, atau daun kopi diseduh dalam tempurung, sesungguhnya mereka sedang merawat sebuah ingatan kolektif.
Dengan memilih menyeruput kopi tradisional, setidaknya saya memberi insentif ekonomi sekaligus legitimasi budaya kepada para pelaku warung.
Kesadaran ini kian penting di era gempuran kopi sachet yang menawarkan kemudahan instan, namun tidak menghadirkan pengalaman mendalam.
Setiap kali kita memilih duduk di warung kecil untuk minum Kopi Joss atau Kopi Khop, kita sedang ikut menjaga denyut tradisi agar tidak terputus.
Pada akhirnya, menjaga kopi Nusantara bukan pekerjaan besar yang jauh dari keseharian. Ia berawal dari hal-hal sederhana: tetap membeli kopi di warung lokal, tetap bercerita sambil menyeruput, dan tetap mengingat bahwa setiap tegukan punya sejarah panjang.
Warisan itu tidak hidup di museum atau buku saja, melainkan di meja kayu sederhana tempat kita berkumpul. Dan justru di situlah kopi menemukan makna terdalamnya: sebagai jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Penutup
Pada akhirnya, kopi-kopi tradisional Nusantara bertahan bukan semata karena rasanya yang khas, melainkan karena ia menyimpan sesuatu yang lebih dalam: identitas, kebersamaan, dan cerita kolektif masyarakatnya.
Di balik bunyi "joss", busa telur, aroma daun, atau kesabaran menyeruput dari gelas terbalik, terdapat cara hidup yang menolak reduksi budaya menjadi sekadar kemasan. Menikmati kopi lokal berarti turut menjaga warisan---satu cangkir, satu pertemuan, satu cerita pada satu waktu.
Di tengah derasnya arus kopi instan dan sachet yang serba cepat, kehadiran kopi seperti Joss, Talua, Kawa Daun, dan Khop mengingatkan kita bahwa keaslian punya ruang tersendiri dalam hati penikmatnya.
Kopi lokal bukan hanya soal menyeruput cairan hitam pekat, melainkan merayakan pertemuan, merawat kebersamaan, dan menjaga warisan budaya.