Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Dari Arang Membara hingga Gelas Terbalik: Tradisi Kopi Nusantara yang Tak Lekang Waktu

5 Oktober 2025   18:17 Diperbarui: 5 Oktober 2025   18:17 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angkringan Lik Man, sejak 1968 menjadi pelopor Kopi Joss Yogyakarta. (Foto: Youtube Tubrukers_id)

Jejak historis dan filosofi sosial

Kopi di Nusantara tidak pernah berdiri sendiri sebagai minuman, melainkan selalu melekat pada kehidupan sosial masyarakat. Ia hadir di persimpangan sejarah kolonial, ekonomi rakyat, hingga praktik budaya yang diwariskan lintas generasi.

Maka, jejak historis setiap kopi tradisional kerap mencerminkan cara suatu komunitas menyesuaikan diri dengan zaman, sekaligus mempertahankan identitas.

Di Yogyakarta, Kopi Joss lahir dari konteks kota pendidikan dan pariwisata yang sibuk. Kehadiran arang membara di dalam gelas bukan hanya sekadar inovasi rasa, melainkan juga simbol improvisasi masyarakat Jawa yang akrab dengan kesederhanaan.

Filosofinya terletak pada keberanian untuk mencoba hal baru dengan bahan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Bunyi "cess" saat arang dicelupkan menjadi semacam penanda: kopi telah siap menjadi saksi perjumpaan dan percakapan panjang malam hari.

Sementara itu, di ranah Minangkabau, Kopi Talua memuat filosofi sosial yang kuat. Campuran kuning telur, gula, dan kopi pekat bukan hanya memberikan energi, tetapi juga melambangkan perpaduan antara kekuatan (kopi), manisnya hidup (gula), dan vitalitas (telur).

Kopi ini sering hadir dalam forum musyawarah atau pertemuan keluarga, menegaskan fungsi kopi sebagai perekat dalam kehidupan komunal.

Kopi Kawa Daun dari Sumatera Barat mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya. Saat biji kopi lebih banyak diekspor pada masa kolonial, masyarakat setempat justru menyeduh daunnya.

Dari keterbatasan itulah lahir tradisi baru. Filosofinya sederhana: manusia bisa tetap bertahan dengan kreativitas, memaknai apa yang ada di sekelilingnya.

Hingga kini, Kawa Daun menjadi simbol kesetiaan masyarakat pada warisan leluhur sekaligus bukti daya tahan budaya menghadapi perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun