Di sektor pendidikan, misalnya, Sekretariat Pendidikan melaporkan adanya persentase besar staf yang akan diliburkan--mengganggu investigasi hak sipil dan pendistribusian hibah baru.
Sementara itu, kantor pemerintahan melaporkan penghentian atau penundaan sejumlah layanan seperti penerbitan beberapa data ekonomi, sebagian kegiatan penelitian kesehatan, dan layanan administrasi yang tidak tergolong esensial.
Di saat yang sama, Gedung Putih mengambil langkah-langkah politik yang nyata: membekukan rencana pencairan dana federal yang ditujukan ke sejumlah negara bagian dan proyek infrastruktur--langkah yang mengubah dampak administratif menjadi alat tekanan politik yang terbuka.
Dampak pembekuan dana ini terasa langsung pada proyek-proyek besar kota seperti proyek terowongan dan perpanjangan kereta di New York.
Negosiasi akhir ditandai oleh persaingan agenda antara Gedung Putih (yang menekan anggaran dan prioritas kebijakan tertentu) dan kelompok-kelompok legislatif yang menuntut agar paket pendanaan memuat perlindungan subsidi kesehatan dan menolak pemotongan yang luas.
Berbagai usulan alternatif--mulai dari clean continuing resolution hingga paket berjangka pendek--gagal mengumpulkan cukup suara di Senat, sehingga batas waktu fiskal (fiscal-year cutoff) 1 Oktober berlalu tanpa kesepakatan.
Sejarah modern menunjukkan bahwa shutdown bukan fenomena baru; sejak 1980 terjadi sejumlah funding gaps yang berujung pada penghentian operasi pemerintah.
Kasus paling terkenal adalah penutupan pemerintah selama 35 hari pada 2018-2019--juga di masa pemerintahan yang dipimpin oleh Donald Trump--yang menjadi catatan sebagai yang terlama dalam sejarah modern AS.
Pola berulang--di mana isu-isu politik besar (mis. imigrasi, kesehatan, atau belanja pertahanan) dibundel ke dalam proses anggaran tahunan--membuat momentum untuk kompromi mudah rapuh.
Analisis teoretis: mengapa shutdown terjadi
Untuk memahami kenapa kebuntuan seperti ini berulang, perlu digarap lewat beberapa lensa teori politik dan ekonomi politik.