Pada masa Bill Clinton (1995-1996), shutdown berlangsung 21 hari, salah satu yang terlama hingga saat itu, dipicu pertentangan dengan Kongres yang dikuasai Partai Republik terkait pemotongan anggaran kesejahteraan.
Era Barack Obama (2013) juga mengalami shutdown selama 16 hari akibat perdebatan Affordable Care Act.
Sementara itu, di bawah Donald Trump, shutdown 2018-2019 berlangsung selama 35 hari, menjadi yang terpanjang dalam sejarah modern AS, dipicu perdebatan pendanaan pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko.
Polanya menunjukkan bahwa shutdown bukanlah kecelakaan teknis, melainkan alat politik yang sengaja dipakai dalam strategi brinkmanship.
Perbedaan ideologi antara Presiden dan Kongres--terutama dalam isu kesehatan, imigrasi, maupun belanja pertahanan--sering dimasukkan ke dalam paket anggaran tahunan.
Dengan mekanisme bundling, pihak tertentu menjadikan anggaran sebagai arena tawar-menawar keras.
Pola berulang ini menegaskan bahwa shutdown lebih merefleksikan polarisasi politik dan kelemahan kompromi dalam demokrasi presidensial ketimbang sekadar kegagalan prosedural semata
Ringkasan peristiwa
Pada dini hari 1 Oktober 2025, dana operasi untuk sebagian besar lembaga federal tidak lagi tersedia setelah Senat tidak menyetujui paket pendanaan sementara (appropriations bills)Â yang diajukan.
Upaya-alih (vote) berulang di Senat gagal memecah kebuntuan politik yang dipicu oleh perbedaan substantif mengenai subsidi kesehatan dan usulan pemotongan belanja tertentu, sehingga sejumlah besar pegawai federal diberi cuti sementara (furlough) atau diminta bekerja tanpa bayaran.
Estimasi awal menunjukkan dampak luas terhadap tenaga kerja federal dan layanan publik. Angka-angka yang beredar berkisar dari ratusan ribu hingga lebih dari delapan ratus ribu pegawai yang terdampak--baik melalui furlough maupun bekerja tanpa bayaran--bergantung pada metodologi penghitungan dan cakupan agensi yang dihitung.