Ia tidak menjemput jabatan, melainkan menerima amanah. Ia tidak menagih pangkat, melainkan menanggung beban pengabdian.
Dalam setiap percakapan dengannya, saya kerap menangkap kesan sederhana: Angga adalah potret generasi pengabdi yang jarang kita temukan di tengah hiruk-pikuk politik praktis hari ini.
Angga memiliki satu karakter yang khas---humble. Dalam setiap perjumpaan, tidak ada jarak yang ia ciptakan. Kalimatnya tenang, keputusannya tidak meledak-ledak, dan ia lebih banyak mendengar sebelum berbicara.
Sifat ini membuatnya berbeda dari banyak pejabat lain yang justru terperangkap dalam euforia kekuasaan.
Saya teringat sebuah obrolan ringan dengannya. Ketika saya menyinggung soal posisi nya saat itu di TKN Prabowo-Gibran, ia hanya tersenyum sambil berkata, "Saya hanya menjalankan perintah, Bang. Jabatan ini bukan milik saya, hanya titipan."
Dari kalimat sederhana itu, saya menangkap satu hal: kerendahan hati yang lahir dari kesadaran akan tanggung jawab, bukan dari ambisi pribadi.
Kesetiaannya kepada Prabowo bukan sekadar loyalitas politik, melainkan sebuah jalan hidup.
Bagi sebagian orang, kata "loyalis" sering dipahami secara sempit sebagai sekadar ikut atau patuh. Namun dalam diri Angga, loyalitas itu menjelma menjadi disiplin, ketekunan, dan konsistensi dalam menjaga garis perjuangan. Ia bukan sekadar pengikut, melainkan pengelola amanah.
Ketika Presiden Prabowo menunjuknya memimpin Badan Komunikasi Pemerintah, sesungguhnya beliau menaruh harapan agar komunikasi negara berada di tangan yang tepat---di tangan sosok yang tidak sekadar pandai bicara, tetapi juga mampu menjaga integritas pesan.
Dalam era digital yang penuh disrupsi, tugas itu semakin strategis, karena komunikasi pemerintah tidak lagi sekadar soal informasi, melainkan soal legitimasi dan kepercayaan
Dan kini, ketika ia dipercaya untuk memimpin komunikasi pemerintah, saya melihat sejarah sedang membuka lembaran baru bagi seorang pengabdi yang tidak pernah mencari panggung, tetapi justru dipanggil oleh panggung itu sendiri.