Perombakan kabinet pada hari ini bukan sekadar pertukaran nama; ia adalah policy window atau tawaran kesempatan kebijakan baru.
Di sini, pemerintah dapat memilih salah satu dari dua jalur: menjadi katalis perubahan yang memperkuat kepercayaan publik, atau menciptakan kebingungan yang memupuk skeptisisme.
Pertama, soal politik dan keamanan: Reshuffle di posisi Menko Polkam menjadi sinyal penting bahwa pemerintah menempatkan stabilitas politik dan keamanan sebagai prioritas utama.
Dalam kacamata kebijakan publik, Menko Polkam berperan sebagai "policy integrator" yang menghubungkan kepentingan keamanan, politik, dan hak-hak sipil.
Gelombang protes yang meluas beberapa waktu terakhir menunjukkan lemahnya mekanisme early warning system dan koordinasi lintas lembaga.
Dengan pergantian ini, publik berharap lahir sebuah pola baru yang lebih empatik, responsif, dan terukur.
Tidak ada lagi laporan ABS alias Asal Bapak Senang, terutama terkait situasi sensitif di lapangan. Tugas pertama Menko Polkam adalah membangun dashboard situasional berbasis data---mengintegrasikan informasi dari Polri, TNI, Komdigi, hingga Kemendagri---sehingga eskalasi konflik dapat terdeteksi lebih cepat.
Selain itu, perlu dirumuskan protokol komunikasi krisis yang menekankan pada transparansi, empati, dan solusi, bukan sekadar retorika represif.
Dalam teori governance jaringan (Rhodes, 1997), keberhasilan koordinasi keamanan bukan hanya soal komando, melainkan soal trust-building antara negara dan masyarakat.
Jika Menko Polkam mampu memimpin dengan pendekatan dialogis dan evidence-based, maka legitimasi pemerintah akan meningkat, risiko instabilitas menurun, dan rasa aman publik bisa dipulihkan.
Kedua, soal stabilitas fiskal: penggantian Menkeu menimbulkan kekhawatiran pasar. Tetapi kekhawatiran itu bisa diredam --- bukan oleh janji saja, melainkan oleh tindakan konkret: dokumen kebijakan fiskal yang terjadwal, fiscal anchors yang jelas, dan transparansi triwulanan.