Saya sempat berdecak heran sesaat melihat berseliweran konten viral terkait gaji jumbo para pejabat. Dalam hati saya bertanya, "Bagaimana memastikan gaji pejabat agar tidak "lepas landas" dari realitas isi dompet rakyat?" Â
Gaji pejabat sering kali berlari lebih kencang ketimbang penghasilan rakyatnya sendiri. Perbedaan jaraknya sangat jauh, seperti matahari dan Neptunus, sekira 4,5 miliar kilometer.
Namun demikian, ternyata ada sejumlah negara yang mengikat gaji parlemen pada data upah warga atau pada perjanjian upah sektor publik yang berlaku nasional.
Mekanisme ini memaksa gaji wakil rakyat bergerak seirama dengan kantong pemilihnya---naik bila upah publik naik, lambat bila daya beli rakyat tertekan.
Tulisan ini berupaya untuk memeriksa skema pengupahan bagi para pejabat di beberapa negara, seperti Inggris, Selandia Baru, Irlandia, Swedia serta di Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia.
Kemudian juga membandingkannya dengan pendekatan "parlemen paruh waktu" di Swiss, dan merumuskan desain kebijakan yang bisa diadopsi.
Mengapa Penetapan Standar Gaji Pejabat Itu Penting?
Penghasilan anggota parlemen tentu berasal dari pajak rakyat yang dibayar dengan keras, mulai dari PPN, PPH, pajak kendaraan, dan berbagai pungutan lainnya. Masyarakat dipaksa membayar dengan disiplin, kadang diiringi dengan sanksi jika terlambat.
Ketika pejabat menikmati remunerasi besar tanpa transparansi dan akuntabilitas yang jelas, hal ini menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi parlemen itu sendiri.
Dengan begitu, penetapan standar gaji pejabat menjadi sangat penting agar jarak antara gaji pejabat dan realitas isi dompet rakyat, lebih masuk akal.