Saya bukan ahli bahasa dan ini bukan kelas bahasa, jadi terima saja apa yang termaktub menurut subyektif saya. Jika ada ketidaksepakatan yang terselip, tulislah di dalam kotak komentar. Bolehlah kita berdiskusi walau hanya sebentar.
Jika kata 'merakyat' disematkan kedalam kancah perpolitikan, tentu saja kita akan punya seribu satu cerita.
Kita akan menemukan banyak variabel turunan darinya. Ia bisa berarti pandangan hidup, filsafat gerakan, epistemologi, pandangan ekonomi politik atau arah kebijakan.
Tak sedikit diktat dan buku yang mengunggah tokoh-tokoh tertentu lengkap dengan gambaran-gambaran ideal manusia yang merakyat.
Dulu, kita pernah punya kisah Umar bin Khattab. Terlahir kaya raya namun hidup dalam kesederhanaan.
Hanya perlu 16 dinar demi mencukupi hidupnya dan anaknya untuk masa sebulan penuh.
Ali bin Abi Thalib, terlahir dari keluarga miskin tetapi dialah bintang paling bersinar di palagan perang Badar.
Fakta hidupnya memunggungi kemewahan masa remaja dan ajek mengikuti kemana Nabi pergi, tak terbantah dalam sejarah. Ali, bocah pemeluk Islam pertama di muka bumi.
Cara hidup asketik ala Umar dan Ali itu, kaum Muslim mengidentikkannya dengan istilah Zuhud.
Tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia. Sederhana, jujur dan rela berkorban.
Pertanyaannya, siapa sekarang yang masih berminat melakukannya? Walau umat masih compang-camping, dinar dan dirham sebegitu lezatnya bukan?
Kisah serupa Umar disematkan kepada Abdurrahman bin Auf. Seorang dermawan yang kaya raya. Sepanjang jalan dilalui sambil membagi-bagikan harta dagangannya kepada rakyat jelata. Tentu tidak dengan cara melemparnya dari dalam mobil mewah.
Saat pemakamannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, 'Anda telah mendapat kasih sayang Allah, dan Anda telah berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah senantiasa merahmati Anda, wahai Abdurrahman bin Auf. Amin.'
Barisan kaum Zuhud yang wajib disebutkan disini adalah KH. Abdurrohim bin Abi Hasan, dari Jebres, Solo.
Dia dikenal sebagai pribadi yang lebih mengutamakan membeli kitab yang isinya ilmu daripada membeli pakaian, meskipun pakaiannya sudah tidak layak pakai.
Sampai akhir hayatnya, dia hanya meninggalkan 2 lemari besar, yang berisi kitab-kitab.
Selanjutnya Imam Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Padangi, Syekh Abdurrauf as-Singkili dan Syekh Yusuf al-Makassari.
Sebut saja nama-nama ulama lain yang tak kalah luarbiasa-nya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy'ari, Buya Hamka, dan Dr. Moh. Natsir.
Di era modern, serangkaian nama lain kemudian bermunculan. Fernando Lugo presiden terkudeta itu, memutuskan tetap hidup di rumah sederhana walau kelar terpilih menjadi orang nomor satu negerinya.
Banyak kesaksian menyebutkan, sehari-hari Lugo tetap makan singkong rebus, nasi putih, daun kol cacah dan ikan. Jenis makanan rakyat kebanyakan di Paraguay.
Ia berjalan tanpa pengawal, hanya ditemani langkah kakinya sendiri yang bersahaja. Rumahnya tidak lebih luas dari hati yang ia lapangkan untuk rakyatnya.
Pakaian yang melekat di tubuhnya sederhana, tanpa sulaman emas atau kain mahal, namun justru itulah yang membuat wibawanya tak terbantahkan.
Masih di jazirah Amerika Latin, Pepe Mujica, menjabat presiden dengan kekayaan cuma 1.800 AS dollar. Mobilnya sekedar Volkswagen Beetle butut edisi 1987.
Mantan gerilyawan itu kerap membonceng ibu negara dengan motor bebek tua kemana-mana. Di rumahnya, mereka hidup tanpa pembantu. Gaya hidup yang membuatnya tak berjarak secara psikologis dengan keseharian rakyat.
Merakyat yang Tidak Dibuat-Buat
Semua potret macam pemimpin-pemimpin zuhud ini, dimana-mana bisa digali. Walau makin sukar didapatkan. Sesukar memperoleh hal otentik nya di negeri kita.
Mereka makan apa yang rakyat makan, duduk di tikar yang sama, dan tidak pernah merasa rendah duduk di antara orang kecil.
Bagi mereka, kemewahan bukanlah istana, melainkan kemampuan menahan diri dari nafsu kuasa. Mereka menolak singgasana yang dihiasi permata, sebab yang mereka dambakan hanyalah singgasana di hati manusia---dan lebih jauh lagi, di sisi Tuhannya.
Ketika orang lain berbangga dengan kekayaan, mereka berbangga dengan kesederhanaan. Ketika orang lain menimbun harta, mereka menimbun amal.
Dan saat banyak pemimpin berusaha dikenang lewat prasasti batu dan patung tinggi, mereka memilih dikenang lewat keadilan dan kasih sayang.
Di negeri ini kehidupan rakyat dan pejabat, bak membayangkan jarak sejuta tahun cahaya.
Cobalah tengok, setahun lalu, selasar media sosial dijejali atraksi kaum super-kaya dengan deretan mobil mewah dan rumah megah bak istana.
Iring-iringan royal wedding di Disneyland menggenapi kontrasnya kehidupan manusia. Berjalan pongah ditengah kondisi kesulitan hidup rakyat miskin yang memprihatinkan.
Pamer kemewahan, yang kemudian makin brutal. Dikemas secara 'humanis' untuk menjelaskan asal-usul kekayaan. Mengharap simpati penonton yutub, bahwa harta kekayaan itu didapat melalui kerja keras dan penuh penderitaan. Omong kosong.
Gerombolan Harvey Moeis, akhirnya meringkuk di dalam bui.
Perilaku Harvey diikuti Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. Riva juga tidak sendirian. Jumlah tersangka bertambah hingga mencapai 18 orang, termasuk Riza Chalid 'The Gasoline Godfather'.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Dari kesederhanaan, lahir kekuatan. Dari kezuhudan, lahir keabadian.
Saya yang fakir pengetahuan ini, setidaknya hanya itu yang bisa saya pahami. Setiap manusia memiliki keinginan untuk kehidupan yang lebih baik, tentu saja cara mendapatkannya berbeda-beda.
Disinilah, orang-orang makin sadar, netizen makin "berisik", kemudian muak dengan drama penguasa-pengusaha serakah. Mereka meledek, mengecam, menghujat dan merendahkannya.
Tentu kita ingin hidup yang berkecukupan. Punya rumah, mobil, dan harta. Tidak ada yang melarang manusia menjadi kaya.
Namun, apa guna bunyi piring dan sendok di rumah megah mu itu ketika menjadi bunyi yang buruk bagi tetanggamu yang kelaparan.
Penguasa-pengusaha yang membadutkan diri agar terlihat 'merakyat' melalui video yutub, podcast, foto-foto penuh edit, hanyalah duplikasi dari sebagian kita.
Mereka dan kita, sama-sama pandai berpura-pura. Lewat kata dan lagak yang ditata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI