Tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia. Sederhana, jujur dan rela berkorban.
Pertanyaannya, siapa sekarang yang masih berminat melakukannya? Walau umat masih compang-camping, dinar dan dirham sebegitu lezatnya bukan?
Kisah serupa Umar disematkan kepada Abdurrahman bin Auf. Seorang dermawan yang kaya raya. Sepanjang jalan dilalui sambil membagi-bagikan harta dagangannya kepada rakyat jelata. Tentu tidak dengan cara melemparnya dari dalam mobil mewah.
Saat pemakamannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, 'Anda telah mendapat kasih sayang Allah, dan Anda telah berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah senantiasa merahmati Anda, wahai Abdurrahman bin Auf. Amin.'
Barisan kaum Zuhud yang wajib disebutkan disini adalah KH. Abdurrohim bin Abi Hasan, dari Jebres, Solo.
Dia dikenal sebagai pribadi yang lebih mengutamakan membeli kitab yang isinya ilmu daripada membeli pakaian, meskipun pakaiannya sudah tidak layak pakai.
Sampai akhir hayatnya, dia hanya meninggalkan 2 lemari besar, yang berisi kitab-kitab.
Selanjutnya Imam Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Padangi, Syekh Abdurrauf as-Singkili dan Syekh Yusuf al-Makassari.
Sebut saja nama-nama ulama lain yang tak kalah luarbiasa-nya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy'ari, Buya Hamka, dan Dr. Moh. Natsir.
Di era modern, serangkaian nama lain kemudian bermunculan. Fernando Lugo presiden terkudeta itu, memutuskan tetap hidup di rumah sederhana walau kelar terpilih menjadi orang nomor satu negerinya.
Banyak kesaksian menyebutkan, sehari-hari Lugo tetap makan singkong rebus, nasi putih, daun kol cacah dan ikan. Jenis makanan rakyat kebanyakan di Paraguay.