Menurut teori social cognition (Fiske & Taylor, 1984), dalam lingkungan keluarga terdapat pemrosesan sosial yang didominasi oleh afeksi dan afiliasi, bukan logika dan kinerja.
Maka, dalam bekerja di bisnis milik saudara, sering kali evaluasi kinerja dibayangi oleh bias keluarga: siapa yang lebih tua, siapa yang "pernah berjasa", bukan berdasarkan kontribusi objektif.
Hal ini menciptakan beban kognitif dan emosional yang tidak sehat. Seorang saudara bisa merasa bersalah saat harus menegur atau memecat keluarga, bahkan jika tindakan itu dibutuhkan secara manajerial.
Di bisnis keluarga, persepsi keberpihakan, nepotisme, atau perlakuan istimewa sering sulit dihindari baik oleh anggota keluarga maupun nonkeluarga.
Sekali lagi, hal ini menimbulkan tekanan psikologis dan berpotensi menurunkan motivasi, kepercayaan diri, dan rasa percaya antar karyawan.
Hambatan Inovasi dan Adaptasi Organisasi
Peter Drucker (1954) pernah menekankan bahwa organisasi yang baik adalah yang mampu adapt and innovate.
Namun dalam bisnis keluarga, terutama jika melibatkan saudara kandung, keputusan inovatif sering kali tertunda karena adanya rasa sungkan atau kompromi yang terlalu personal. Bahkan kritik membangun bisa disalahartikan sebagai konflik pribadi.
Dalam jangka panjang, organisasi semacam ini sulit melakukan perubahan budaya, transformasi digital, atau ekspansi pasar yang agresif.
Keterlibatan di bisnis saudara kadang membatasi ruang tersebut, baik karena adanya tekanan norma keluarga, harapan loyalitas, maupun tradisi bisnis keluarga yang resistensi terhadap perubahan.
Kesimpulan