Presiden Prabowo Subianto meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan Sanur dan Bali International Hospital (BIH) pada 25 Juni 2025 sebagai respons terhadap fenomena medical tourism Warga Negara Indonesia (WNI) (setkab.go.id, 26/6/2025).
Awalnya, saya bertanya-tanya membaca berita tentang kegiatan tersebut. Untuk apa Prabowo meresmikan pusat kesehatan kelas mewah di Bali. Sementara, masih banyak rumah sakit di pelosok yang terbengkalai dan kurang perhatian.
Namun, setelah mempelajarinya secara lebih mendalam, sepertinya dugaan saya kurang tepat. Ada aspek lain yang luput untuk saya analisis. Apa itu? Izinkan saya untuk sedikit menjelaskannya.
Peresmian KEK ini merupakan "terobosan sejarah" untuk kesehatan dan destinasi medis bertaraf internasional. Inisiatif ini sesungguhnya bertujuan untuk mengurangi WNI yang berobat ke luar negeri, sekaligus menyimpan devisa dan menarik pasien asing.
Kompas.com (5/6/2025) menulis sebuah laporannya: Sekitar 1 juta WNI berobat ke luar negeri setiap tahun, menyebabkan kebocoran devisa mencapai Rp200 triliun.
Sumber lain dari Djoko Santoso, Guru Besar Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga menyebut angka WNI berobat 600 ribu-2 juta orang/tahun, menghabiskan USD11,5 miliar atau setara dengan Rp170 triliun (rumahginjal.id).
Data lain mencatat bahwa 1 per 1.000 rumah tangga pernah berobat ke luar negeri dalam 3 tahun terakhir (health.detik.com).
Singapura menjadi negara tujuan utama yang dikunjungi oleh sebanyak 47,2% pasien asing, kemudian Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Eropa, dan Amerika Serikat.
WNI memilih berobat ke luar negeri karena pertimbangan kualitas layanan dan biaya yang kompetitif. Mayoritas bahan farmasi (90%) dan alat kesehatan (52%) di Indonesia masih bergantung pada impor, memperparah ketidakpercayaan terhadap layanan domestik.
Situasi inillah yang, menurut penilaian saya pribadi, menjadi faktor utama pembangunan KEK Kesehatan bertaraf internasional.