Melalui laman resmi IG @kemenkebud, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon menyampaikan sambutan terkait Hari Purbakala ke-112. Jujur, saya dan mungkin sebagian Anda kurang memperhatikan hal tersebut.
Melalui laman tersebut, tertulis sebuah tema "Reinventing the past, preserving the future" kurang lebih dalam Bahasa Indonesia menjadi "menciptakan kembali masa lalu, melestarikan masa depan". Sebuah pesan yang sangat kuat.
Namun demikian, isi sambutan Fadli Zon menjadi menarik, karena peringatan Hari Purbakala ke-112 menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali peran negara dalam pelestarian warisan arkeologi Indonesia.
Alih-alih menjadi pelindung utama warisan budaya, negara kerap terjebak dalam politik simbolik dan logika pembangunan yang abai terhadap substansi nilai-nilai purbakala.
Artikel ini mengeksplorasi dilema antara pelestarian dan eksploitasi situs purbakala dalam konteks neoliberalisme kultural serta minimnya tata kelola berbasis pengetahuan arkeologis yang kritis.
Sejarah Singkat Hari Purbakala
Tepat 112 tahun lalu, pada 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie (Dinas Purbakala Hindia Belanda), yang menandai awal institusionalisasi perlindungan benda dan situs purbakala di Indonesia.
Lembaga kolonial ini menjadi fondasi sistem pengelolaan warisan budaya yang kemudian diwarisi Indonesia pascakemerdekaan. Pada 1953, kepemimpinan lembaga ini pertama kali dipegang oleh arkeolog pribumi, R. Soekmono, menandai transisi kepengelolaan mandiri.
Singkat cerita, Lembaga ini kemudian berkembang menjadi Direktorat Purbakala dan kini menjadi bagian dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Namun, apakah keberlanjutan institusi ini sejalan dengan kepentingan pelestarian nilai dan makna warisan budaya secara hakiki?