Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara dan Warisan yang Terbengkalai: Refleksi Kritis Hari Purbakala ke-112

14 Juni 2025   15:44 Diperbarui: 14 Juni 2025   15:44 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses ekskavasi di Situs Watu Kucur, Jombang, Jawa Timur, Kamis (11/10/2021).(Foto: KOMPAS.COM/MOH. SYAFI)

Berdasarkan temuan-temuan penelitian di lapangan tersebut, negara tidak hanya melindungi situs tetapi juga mengontrol makna sejarah melalui:

  • Klasifikasi Obyektifikasi: Penetapan status "cagar budaya" yang sering mengabaikan nilai subjektif masyarakat lokal.
  • Regulasi Akses: Pembatasan interaksi masyarakat dengan situs melalui zonasi dan perizinan.
  • Produksi Wacana: Museum dan situs resmi menjadi medium penyebaran narasi sejarah yang dihegemoni negara.

Arkeologi sebagai Ilmu Publik: Jalan Keluar dari Paradigma Elitis

Saat ini diperlukan sebuah pendekatan archaeology from below, yaitu arkeologi yang mengutamakan peran komunitas, memperhatikan pengetahuan lokal, dan tidak mengutamakan narasi tunggal negara.

Pendekatan ini selaras dengan gagasan critical heritage studies (Harrison, 2013) yang memandang warisan budaya sebagai medan konflik antara berbagai kepentingan.

Lebih jauh lagi, pendekatan partisipatif seperti community-based archaeology (Atalay, 2012) terbukti efektif dalam memelihara situs dan membangun kesadaran kritis.

Sayangnya, negara belum banyak memberikan ruang dalam regulasi untuk skema pelibatan ini, menjadikan pelestarian tetap bersifat top-down.

Dengan pandangan tersebut, muncul kritik utama terhadap peran negara, yaitu:

  • Hegemoni Epistemologis: Standar "keaslian" (authenticity) cagar budaya sering bertabrakan dengan praktik budaya hidup masyarakat.
  • Komodifikasi Warisan: Prioritas pariwisata berisiko mereduksi nilai sakral situs menjadi komoditas ekonomi.
  • Fragmentasi Kelembagaan: Koordinasi antara pemerintah pusat-daerah masih lemah, menyebabkan tumpang tindih regulasi.

Berdasarkan teori counter-archaeology (Hamilakis, 2007), diperlukan reorientasi kebijakan yang:

  • Mengakui pluralisme pengetahuan lokal dalam interpretasi warisan budaya.
  • Memperkuat mekanisme free, prior, and informed consent untuk komunitas adat.
  • Mengintegrasikan pendekatan ekofilosofi Nusantara dalam konservasi.

Kesimpulan: Dari Peringatan Menuju Transformasi

Hari Purbakala ke-112 seharusnya tidak hanya menjadi perayaan institusional, tetapi momentum reflektif dan kritis.

Negara harus didorong untuk keluar dari paradigma simbolik dan mulai membangun tata kelola warisan budaya yang demokratis, berbasis data arkeologis, dan berpihak pada keadilan historis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun