Berdasarkan temuan-temuan penelitian di lapangan tersebut, negara tidak hanya melindungi situs tetapi juga mengontrol makna sejarah melalui:
- Klasifikasi Obyektifikasi: Penetapan status "cagar budaya" yang sering mengabaikan nilai subjektif masyarakat lokal.
- Regulasi Akses: Pembatasan interaksi masyarakat dengan situs melalui zonasi dan perizinan.
- Produksi Wacana:Â Museum dan situs resmi menjadi medium penyebaran narasi sejarah yang dihegemoni negara.
Arkeologi sebagai Ilmu Publik: Jalan Keluar dari Paradigma Elitis
Saat ini diperlukan sebuah pendekatan archaeology from below, yaitu arkeologi yang mengutamakan peran komunitas, memperhatikan pengetahuan lokal, dan tidak mengutamakan narasi tunggal negara.
Pendekatan ini selaras dengan gagasan critical heritage studies (Harrison, 2013) yang memandang warisan budaya sebagai medan konflik antara berbagai kepentingan.
Lebih jauh lagi, pendekatan partisipatif seperti community-based archaeology (Atalay, 2012) terbukti efektif dalam memelihara situs dan membangun kesadaran kritis.
Sayangnya, negara belum banyak memberikan ruang dalam regulasi untuk skema pelibatan ini, menjadikan pelestarian tetap bersifat top-down.
Dengan pandangan tersebut, muncul kritik utama terhadap peran negara, yaitu:
- Hegemoni Epistemologis:Â Standar "keaslian" (authenticity) cagar budaya sering bertabrakan dengan praktik budaya hidup masyarakat.
- Komodifikasi Warisan:Â Prioritas pariwisata berisiko mereduksi nilai sakral situs menjadi komoditas ekonomi.
- Fragmentasi Kelembagaan: Koordinasi antara pemerintah pusat-daerah masih lemah, menyebabkan tumpang tindih regulasi.
Berdasarkan teori counter-archaeology (Hamilakis, 2007), diperlukan reorientasi kebijakan yang:
- Mengakui pluralisme pengetahuan lokal dalam interpretasi warisan budaya.
- Memperkuat mekanisme free, prior, and informed consent untuk komunitas adat.
- Mengintegrasikan pendekatan ekofilosofi Nusantara dalam konservasi.
Kesimpulan: Dari Peringatan Menuju Transformasi
Hari Purbakala ke-112 seharusnya tidak hanya menjadi perayaan institusional, tetapi momentum reflektif dan kritis.
Negara harus didorong untuk keluar dari paradigma simbolik dan mulai membangun tata kelola warisan budaya yang demokratis, berbasis data arkeologis, dan berpihak pada keadilan historis.