Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Medsos, Moral, dan Fenomena Fantasi Sedarah: Menyelami Sisi Gelap Ruang Digital

25 Mei 2025   15:31 Diperbarui: 25 Mei 2025   20:18 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Grup Facebook Fantasi Sedarah yang memiliki puluhan ribu anggota itu telah dihapus oleh META.(Foto: CNET via Kompas.ccom)

Media sosial ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi ruang demokratis untuk berekspresi, berbisnis, dan membangun jejaring (Van Dijck, 2013). Begitulah saya menggunakan medsos, lebih sering untuk sebaran artikel opini.

Di sisi lain, media sosial juga menjadi tempat berkembangnya konten-konten destruktif yang menggerus moral, seperti kasus grup Facebook "Fantasi Sedarah" dan "Suka Duka". Komdigi melalui Wamen Angga Raka Prabowo langsung bertindak cepat memblokir akun tersebut.

Fenomena grup Facebook yang menyimpang ini menjadi titik kulminasi kegelisahan publik tentang moralitas di era media sosial.

Kasus ini bukan sekadar cerita tentang konten menyimpang, tetapi juga cermin dari dinamika sosial, psikologis, dan etis yang membentuk lanskap digital Indonesia hari ini.

Lalu, bagaimana menjelaskan munculnya ruang-ruang gelap semacam ini? Apa implikasinya terhadap ekosistem digital Indonesia? Apakah media sosial menciptakan monster ini, atau justru kita yang memelihara monsternya?

Dua Sisi Medali: Media Sosial Sebagai Ruang Publik

Sebagai seorang yang aktif melakukan pendampingan warga dan pegiat media sosial, saya menyaksikan sendiri bagaimana media sosial menjadi ruang yang powerful: dari menyuarakan opini minoritas, melawan kesewenang-wenangan hingga mendongkrak UMKM lewat strategi konten dan live commerce.

Tapi, kekuatan ini bersifat terbuka--bagaikan pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat emansipasi atau justru jembatan menuju dekadensi moral.

Media sosial telah merevolusi cara individu beropini, berdagang, hingga berpolitik. Platform seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp menjadi ruang terbuka bagi ekspresi diri, advokasi, bahkan pemberdayaan ekonomi.

Namun, di balik kemudahan dan kebebasan itu, terbuka pula peluang bagi perilaku menyimpang, polarisasi, dan penyebaran nilai-nilai yang bertentangan dengan norma masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun