Tahun 2025 menjadi penanda penting dalam sejarah intelektual Indonesia: pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan menggagas proyek besar penulisan ulang sejarah nasional menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Dengan melibatkan tidak kurang dari 120 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi, dan dipimpin oleh Profesor Susanto Zuhdi, proyek ini bertujuan menghasilkan 10 jilid buku setebal 5.000 halaman sebagai pengganti Indonesia dalam Arus Sejarah (2012).
Proyek monumental ini diharapkan mampu meredefinisi narasi besar Indonesia yang selama ini banyak ditulis dalam bayang-bayang rezim politik tertentu, terutama Orde Baru.
Namun pertanyaan penting muncul: mengapa sejarah perlu ditulis ulang? Apakah sejarah kita selama ini "salah"? Atau ini sekadar bentuk aktualisasi kuasa baru terhadap memori kolektif bangsa?
Artikel ini mencoba mengangkat pendekatan teoritik kontemporer dalam historiografi global untuk memahami dinamika penulisan ulang sejarah ini, serta menawarkan pembacaan baru tentang sejarah sebagai arena negosiasi antara ingatan, identitas, dan kekuasaan.
Menulis Ulang Indonesia dan Historiografi Modern
Penulisan ulang sejarah Indonesia bukanlah perkara mudah. Ia tak sekadar memindahkan teks ke dalam buku. Mungkin sebagian publik, termasuk saya belum mengetahui bahwa proyek ini mengadopsi prinsip-prinsip historiografi modern yang menekankan:
1. Analisis kritis multidisiplin: mengintegrasikan perspektif ekonomi, sosiologi, dan antropologi dalam interpretasi peristiwa.
2. Dekonstruksi narasi kolonial: merevisi bias Eurosentrisme dalam periodisasi sejarah.
3. Inklusi sumber marjinal:Â memasukkan kesaksian lisan, artefak budaya, dan dokumen lokal yang terabaikan.
4. Transparansi metodologis: memetakan secara jelas tahapan heuristik, kritik sumber, dan interpretasi.
Namun, target penyelesaian 17 bulan (Mei 2024-Agustus 2025) dipertanyakan. Menurut laporan Kompas.id, tim mengandalkan kompilasi penelitian eksisting ketimbang ekskavasi sumber primer baru--praktik yang berisiko mengabadikan bias akademis sebelumnya.
Titik Rawan dalam Proyek Resmi
Dalam beberapa diskusi dan analisis melalui media pemberitaan, terdapat beberapa catatan kelemahan struktural yang teridentifikasi dalam penulisan uulang sejarah Indonesia ini, diantaranya:
1. Dominasi narasi negara: Konsep "sejarah resmi" yang diusung berpotensi meminggirkan kontra-narasi seperti peran gerakan perempuan dalam revolusi atau konflik etnis pasca-kemerdekaan.
2. Hegemoni sejarawan Jawa: 60% anggota tim berasal dari Pulau Jawa, berisiko menciptakan sentralisme historis.
3. Minimnya pendekatan kuantitatif: Padahal historiografi mutakhir telah mengadopsi digital history dan analisis big data untuk studi demografi sejarah.