Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hari Museum Internasional di Tengah Komunitas yang Berubah Cepat

18 Mei 2025   21:08 Diperbarui: 18 Mei 2025   21:08 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara teoritik, pendekatan museum harus beralih dari "museum sebagai ruang koleksi" ke "museum sebagai ruang pengalaman" (experience economy) yang menekankan interaksi dan keterlibatan emosional pengunjung (Pine & Gilmore, 1998).

Selain itu, teori konstruktivisme sosial (Vygotsky, 1978) menggarisbawahi pentingnya museum sebagai media pembelajaran sosial yang memungkinkan pengunjung membangun makna secara aktif melalui interaksi dengan koleksi dan komunitas.

Di Indonesia, pendekatan ini masih minim, sehingga museum gagal menjadi ruang dialog dan refleksi budaya yang hidup.

Kondisi ini diperparah oleh minimnya dukungan kebijakan yang berkelanjutan dan kurangnya integrasi museum dalam sistem pendidikan formal.

Akibatnya, museum menjadi tempat yang terisolasi dari kehidupan sosial dan pendidikan masyarakat luas.

Museum merupakan institusi yang berfungsi sebagai penjaga warisan budaya, sumber pendidikan, dan ruang kontemplasi sejarah (Falk & Dierking, 2018).

Namun, dalam kerangka Critical Museum Studies, museum kini dituntut tidak hanya menjadi ruang pajang benda mati, tetapi juga agen transformasi sosial dan inklusi budaya (Sandell, 2020).

Museum yang tidak mampu beradaptasi dengan dinamika sosial dan kemajuan teknologi akan tertinggal dan teralienasi dari masyarakatnya.

Beberapa museum di Indonesia mulai merangkul teknologi, seperti Museum Naasional dan Museum MACAN yang memadukan seni modern dengan instalasi digital.

Namun, langkah ini masih sporadis. Padahal, riset Parry (2013) dalam Museums in a Digital Age menunjukkan bahwa digitalisasi bukan sekadar soal website atau aplikasi, melainkan perubahan paradigma--dari collection-centered ke visitor-centered.

Di Belanda, Rijksmuseum meluncurkan Rijksstudio, platform digital yang memungkinkan pengguna mengunduh dan memanipulasi karya seni koleksi mereka. Sementara di Indonesia, banyak museum bahkan belum memiliki katalog daring yang lengkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun