Secara teoritik, pendekatan museum harus beralih dari "museum sebagai ruang koleksi" ke "museum sebagai ruang pengalaman" (experience economy) yang menekankan interaksi dan keterlibatan emosional pengunjung (Pine & Gilmore, 1998).
Selain itu, teori konstruktivisme sosial (Vygotsky, 1978) menggarisbawahi pentingnya museum sebagai media pembelajaran sosial yang memungkinkan pengunjung membangun makna secara aktif melalui interaksi dengan koleksi dan komunitas.
Di Indonesia, pendekatan ini masih minim, sehingga museum gagal menjadi ruang dialog dan refleksi budaya yang hidup.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya dukungan kebijakan yang berkelanjutan dan kurangnya integrasi museum dalam sistem pendidikan formal.
Akibatnya, museum menjadi tempat yang terisolasi dari kehidupan sosial dan pendidikan masyarakat luas.
Museum merupakan institusi yang berfungsi sebagai penjaga warisan budaya, sumber pendidikan, dan ruang kontemplasi sejarah (Falk & Dierking, 2018).
Namun, dalam kerangka Critical Museum Studies, museum kini dituntut tidak hanya menjadi ruang pajang benda mati, tetapi juga agen transformasi sosial dan inklusi budaya (Sandell, 2020).
Museum yang tidak mampu beradaptasi dengan dinamika sosial dan kemajuan teknologi akan tertinggal dan teralienasi dari masyarakatnya.
Beberapa museum di Indonesia mulai merangkul teknologi, seperti Museum Naasional dan Museum MACAN yang memadukan seni modern dengan instalasi digital.
Namun, langkah ini masih sporadis. Padahal, riset Parry (2013) dalam Museums in a Digital Age menunjukkan bahwa digitalisasi bukan sekadar soal website atau aplikasi, melainkan perubahan paradigma--dari collection-centered ke visitor-centered.
Di Belanda, Rijksmuseum meluncurkan Rijksstudio, platform digital yang memungkinkan pengguna mengunduh dan memanipulasi karya seni koleksi mereka. Sementara di Indonesia, banyak museum bahkan belum memiliki katalog daring yang lengkap.