Setiap 21 April, kita memperingati Hari Kartini sebagai simbol perjuangan emansipasi perempuan Indonesia.
Raden Ajeng Kartini (1879--1904) bukan cuma pahlawan konvensional, tapi juga influencer di zamannya--mendorong kesetaraan lewat tulisan, pendidikan, dan keteguhan hati.
Di era feodal Jawa yang patriarkal, Kartini berani speak up lewat surat-suratnya yang kemudian dibukukan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang.
Melalui surat-suratnya itu, Kartini menyuarakan kritik terhadap praktik pingitan, poligami, dan keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan (Kartini, 1911; dalam Sutarman, 2018).Â
Meski menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Kartini tetap aktif mendirikan sekolah perempuan dan memperjuangkan literasi.
Dari perspektif teori feminis postkolonial (Mohanty, 1984), perjuangan Kartini tidak hanya melawan patriarki, tetapi juga kolonialisme yang membatasi ruang gerak perempuan pribumi.Â
Studi Suryochondro (2005) menunjukkan bahwa Kartini merupakan agen perubahan melalui tulisan dan pendidikan--strategi yang relevan hingga kini di era digital.
Tapi, apa relevansi perjuangannya buat perempuan Gen Z sekarang? Yuk, kita bahas dengan pendekatan teoritik yang relate sama kondisi kekinian!Â
Kartini: Pejuang Literasi dan Pendidikan Perempuan
Kartini sadar betul bahwa pendidikan adalah senjata utama melawan ketidakadilan. Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar (1899), Kartini menulis:Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!