Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Museum? Bukan Tempat Gaul Gue!", Menggagas Participatory Museum

5 April 2025   20:56 Diperbarui: 14 April 2025   09:40 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang ImersifA di Museum Nasional. Ruang dengan instalasi permanen proyeksi video mapping ke setiap sisi dinding 360.(Foto: Youtube Museum Nasional)

Mengapa Mereka Enggan ke Museum?

Menurut teori Uses and Gratifications (Katz et al., 1973) menjelaskan bahwa generasi muda mencari media (termasuk museum) yang memenuhi kebutuhan mereka: hiburan, interaksi sosial, dan relevansi dengan kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, museum sering gagal memenuhi ini.

1. Kurang Interaktif & Teknologi Jadul

Gen Z dan Milenial hidup di era digital. Mereka terbiasa dengan konten visual dinamis (TikTok, Instagram, YouTube). Sementara banyak museum masih pakai teks panjang, display statis, dan minim teknologi. Padahal, penelitian Falk & Dierking (2016) dalam The Museum Experience Revisited membuktikan bahwa pengunjung lebih tertarik pada pengalaman imersif (AR/VR, touchscreen, gamifikasi).

2. Narasi Kaku & Tidak Relate dengan Isu Kekinian

Museum sering terjebak dalam narasi sejarah yang kaku, tanpa kaitannya dengan isu sosial sekarang. Gen Z dan Milenial justru tertarik pada sejarah yang dikaitkan dengan isu kekinian. Angkat isu sustainability, mental health, atau pop culture. Pameran tentang K-Pop atau sejarah meme? Why not! Teori Constructivist Learning (Hein, 1998) menekankan bahwa pembelajaran efektif ketika pengunjung bisa menghubungkan konten dengan pengalaman mereka.

3. Kurangnya Personal Branding di Media Sosial

Museum-museum di luar negeri seperti The Met (New York) sukses menarik anak muda karena gaya promosinya kekinian. Mereka kolab dengan seniman digital, micro-influencer, buat challenge TikTok, atau pameran instagrammable. Sementara banyak museum lokal masih gaptek soal digital marketing.

4. Harga Tiket yang Mahal

Tiket mahal jadi hambatan utama (63% responden). Bayangin, harga tiket museum di Jakarta bisa setara 2 cup kopi kekinian! Harga tiket Rp 20.000-50.000 dianggap nggak worth it buat pengalaman monoton. Bandingin sama harga escape room atau bioskop!

5. Trauma Studi Tour

Pengalaman dipaksa isi LKS waktu SD bikin mereka kapok. Museum jadi identik sama "tugas", bukan hiburan.

Membuat Museum Kembali Gaul dengan Konsep Partisipatoris

Konsep Participatory Museum yang dikemukakan oleh Nina Simon pada tahun 2010 menekankan pentingnya keterlibatan aktif pengunjung dalam pengalaman museum.

Dalam model ini, museum berfungsi sebagai platform yang menghubungkan pengunjung dengan koleksi dan pameran, bukan hanya sebagai tempat untuk melihat benda-benda statis.

Inti Konsep Participatory Museum:

1. Keterlibatan Pengunjung: Pengunjung tidak hanya sebagai penonton pasif, tetapi juga berperan sebagai perancang, kritikus, dan kolaborator. Mereka diundang untuk berkontribusi dalam menciptakan makna dan pengalaman baru dari pameran yang ada.

2. Pengalaman Multidimensi: Dengan menggunakan teknologi dan media interaktif, museum dapat menawarkan pengalaman yang lebih dinamis dan relevan bagi pengunjung. Ini termasuk penggunaan audio visual, layar sentuh, dan pameran interaktif. Pakai AR buat "menghidupkan" wayang atau senjata kuno. Tapi ingat: digital harus memperkuat cerita, bukan ganti benda fisik.

3. Komunikasi Interpersonal: Simon menekankan pentingnya model komunikasi dua arah antara museum dan pengunjung. Ini bertujuan untuk menciptakan dialog yang lebih mendalam dan personal, sehingga pengunjung merasa lebih terhubung dengan konten yang disajikan.

4. Fleksibilitas dalam Pameran: Museum tidak dapat menjamin keseragaman pengalaman bagi setiap pengunjung, namun memberikan ruang bagi berbagai latar belakang dan minat untuk saling berinteraksi dan menciptakan pengalaman bersama.

5. Museum jadi co-working space: Sediakan WiFi kenceng, charging port, dan spot foto aesthetic. Contoh sukses: Denver Art Museum yang ngadain Night at the Museum dengan live music.

Soal harga tiket, ada dua contoh menarik nih gaes:

1. Pengalaman Metropolitan Museum di New York berhasil naikin 40% pengunjung usia 18-34 tahun dengan sistem harga "pay as you wish". Bayar sesuai kantong!

2. Whitney Museum memulai program "Free 25 and Under" yang memberikan tiket gratis bagi pengunjung berusia 25 tahun ke bawah. Inisiatif ini berhasil meningkatkan jumlah pengunjung muda dan beragam.

Implikasi untuk Museum

Dengan menerapkan konsep participatory, museum dapat menjadi lebih relevan dan menarik bagi masyarakat modern.

Ini juga membantu museum untuk memenuhi kebutuhan pengunjung yang semakin menginginkan pengalaman yang interaktif dan bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun