Pada masa itu, individu-individu "Merdeka" ini sering digunakan untuk menekan perlawanan rakyat, menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara penguasa dan preman.
Setelah kemerdekaan, kelompok preman terus berkembang, sering kali berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari negara dalam mengendalikan masyarakat.
Era Orde Baru: Patronase dan Penggunaan Preman
Selama rezim Orde Baru, hubungan antara negara dan kelompok preman mencapai puncaknya. Pemerintah menggunakan preman sebagai alat untuk menegakkan kontrol sosial dan politik.
Kelompok-kelompok ini, yang sebelumnya tidak terorganisir, mulai diintegrasikan ke dalam struktur kekuasaan negara melalui organisasi-organisasi yang didukung oleh militer.
Ian Douglas Wilson dalam bukunya "Politik Jatah Preman" menyatakan bahwa Orde Baru beroperasi dengan sistem jatah preman, di mana pemerintah menciptakan ancaman melalui para preman sambil memberikan perlindungan kepada warga yang setia.
Dengan cara ini, negara dapat mempertahankan kekuasaannya sambil memanfaatkan preman untuk intimidasi politik, termasuk selama pemilu.
Pasca-Reformasi: Adaptasi dan Transformasi
Setelah tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, kontrol negara terhadap kelompok preman mulai melemah.
Proses demokratisasi dan desentralisasi membuka peluang bagi kelompok-kelompok ini untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Mereka beradaptasi dengan sistem politik baru yang lebih terbuka dan multi-partai, sering kali menjalin hubungan transaksional dengan partai politik untuk mendapatkan dukungan finansial atau legitimasi.