Menurut Setyawan (2012), pseudosains juga banyak tersebar akibat dukungan media yang sering kali kurang selektif. Klaim-klaim ini biasanya diajukan oleh figur non-ahli dan disebarkan melalui buku populer yang seolah ilmiah padahal belum teruji validitasnya. Faktor lain yang berperan ialah kurangnya literasi dimana tentu akan sangat berpengaruh dalam tingkat pemahaman seseorang dalam memahami suatu informasi termasuk terkait paparan hoax (Illahi & Gani, 2024).Â
Manusia modern memiliki kecenderungan untuk mencari dan memilih informasi yang sesuai dengan keyakinan atau pandangan yang telah ada sebelumnya. Dalam psikologi, kecenderungan ini dikenal motivated reasoning atau confirmation bias (Media Indonesia, 2023). Selanjutnya, sosial budaya juga dapat memperkuat kepercayaan akan pseudosains ini. Salah satu contoh yang paling marak terjadi ialah adanya praktik pengobatan tradisional yang diwariskan turun-temurun. Dengan demikian, popularitas pseudosains ini memang dipengaruhi banyak faktor, tidak hanya dari dalam (internal), tetapi juga dari luar (eksternal).
Apakah Pseudosains Berbahaya?
Memahami ilmu dan pengetahuan tidak kalah urgennya. Dengan pemahaman yang baik, kita tidak akan terjebak pada konsep-konsep yang absurd tentang ilmu dan pengetahuan. Selain itu, pemahaman tersebut juga akan membantu kita menghindari pseudosains (ilmu semu atau ilmu palsu). Pseudosains tidak kalah berbahayanya bagi kehidupan manusia. Sekali seorang ilmuwan terjebak dalam konsep pseudosains, maka ia berisiko keliru dalam merumuskan suatu teori keilmuan.
Bukankah sering kita jumpai, misalnya ketika seseorang mengalami suatu penyakit lalu diberikan ramuan tertentu, dan setelah itu sembuh? Pengetahuan semacam ini, meskipun tampak berhasil pada sebagian orang, tidak dapat dijelaskan dengan metode ilmiah. Cara seperti ini juga tidak menggunakan standar keilmuan yang objektif dan rasional. Karena bersifat pseudosains, pengetahuan ini pun tidak pernah mengalami perkembangan, berbeda dengan pengetahuan yang didasarkan pada ilmu kedokteran yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.
Bagaimana Cara Menghindari Pseudoscience?
Di tengah banjirnya informasi yang beredar cepat, terutama di media sosial, kemampuan untuk memilah mana yang ilmiah dan mana yang pseudosains menjadi sangat krusial. Meskipun pseudosains sering dikemas dengan gaya meyakinkan, bahasa ilmiah, atau bahkan didukung oleh public figure, ada beberapa cara efektif untuk melindungi diri sendiri dari pengaruh pseudosains, antara lain:
1. Bersikap Kritis terhadap Sumber Informasi yang Didapat
Langkah pertama adalah mengkritisi sumber informasi yang didapat dengan cara memverifikasikannya. Informasi ilmiah umumnya berasal dari jurnal akademik terverifikasi, seperti Journal of Clinical Psychology atau jurnal psikologi yang memiliki sistem peer-review.
Sebaliknya, pseudoscience sering bersandar pada testimoni pribadi, kutipan tanpa sumber jelas, atau narasi emosional. Menurut Swire-Thompson & Lazer (2020), konten viral yang tidak berbasis bukti ilmiah cenderung lebih cepat menyebar karena mengandalkan kejutaan dan sentimen emosional. Oleh karena itu, hindari mempercayai klaim hanya karena banyak "like" atau karena berasal dari akun populer. Beberapa tips untuk memverifikasi sumber informasi bisa dengan menggunakan Google Scholar atau database seperti PubMed untuk memeriksa apakah topik tersebut pernah diteliti, serta periksa juga apakah penulisnya memiliki latar belakang akademik yang sah di bidangnya.
Tak hanya itu, bersikap skeptis juga diperlukan dalam memverifikasi sumber informasi. Penelitian oleh Pennycook & Rand (2019) menunjukkan bahwa berpikir reflektif dan skeptis secara moderat dapat mengurangi kemungkinan seseorang mempercayai hoaks atau pseudosains.
2. Pelajari Dasar Metode Ilmiah
Memahami cara kerja ilmu pengetahuan akan sangat membantu dalam mengenali mana informasi yang valid. Dalam psikologi, metode ilmiah meliputi 4 tahapan, yaitu menyusun hipotesis, melakukan pengujian terkontrol, mereplikasi hasil oleh peneliti lain, dan melakukan proses peer-review. Pseudosains pada umumnya tidak akan memenuhi keempat tahapan ini. Ia hanya berpegang pada satu pengalaman, studi yang belum direplikasi, atau teori yang tidak pernah diuji. Dengan mengenali metode ilmiah, kita tidak akan mudah tertipu hanya karena presentasinya terlihat "ilmiah". Contohnya jika seseorang menawarkan metode "penyembuhan trauma dengan energi tangan", kita bisa tanyakan dengan dasar keempat tahapan tadi, "Apakah metode tersebut sudah pernah diteliti? Siapa yang menelitinya? Sudah dipublikasikan di mana?"
3. Edukasi Orang Lain dengan Empati
Ketika melihat orang lain, termasuk keluarga dan teman dekat yang percaya pada pseudosains, jangan langsung menyalahkan atau mencemooh mereka. Pendekatan yang terlalu agresif justru akan membuat mereka merasa terancam dan bertahan dalam keyakinan semu mereka (Lewandowsky et al., 2020).
Alih-alih menghakimi, coba ajukan pertanyaan terbuka dan arahkan mereka untuk mengevaluasi bukti bersama. Gunakan data, kisah nyata yang terverifikasi, dan bangun percakapan secara terbuka.