Mohon tunggu...
Rafly Rhafael
Rafly Rhafael Mohon Tunggu... Mahasiswa Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

kehidupan adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pseudoscience dan Media Sosial: Ketika Hoaks Berkedok Ilmu Pengetahuan

15 Mei 2025   22:49 Diperbarui: 15 Mei 2025   22:49 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah kamu percaya bahwa garis tangan mampu mencerminkan kepribadian kamu? Atau pernahkah kamu merasa deskripsi zodiak harian di media sosial begitu "sesuai" seolah zodiak itu ditulis khusus untuk kamu? 

Tanpa disadari, banyak dari kita pernah atau masih percaya pada hal-hal yang sebenarnya tidak didasarkan pada bukti ilmiah. Fenomena ini dikenal sebagai pseudoscience, yaitu praktik atau kepercayaan yang mengakui sesuatu itu ilmiah namun gagal memenuhi kriteria dasar metode ilmiah seperti falsifiabilitas, peer-review, dan replikasi. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, masyarakat semakin sering terpapar berbagai klaim-klaim pseudosains ini, bahkan kian merajalela di media sosial dan platform daring lainnya. Kebangkitan pseudoscience semakin diperparah oleh beberapa influencer dan selebritas, yang memicu bandwagon effect sehingga konten yang menyesatkan tersebut tersebar luas tanpa disaring di kalangan masyarakat. Fenomena ini diperkuat pula oleh meluasnya konten hoaks kesehatan mental dan konspirasi di internet, yang kerap memanfaatkan testimoni personal untuk menarik perhatian tanpa menyertakan bukti peerreviewed.

Apa itu pseudosains?

Istilah pseudosains berasal dari kata Yunani pseudo yang berarti "palsu", dan science yang berarti "ilmu pengetahuan". Secara umum, pseudosains dapat diartikan sebagai klaim atau praktik yang mengaku ilmiah namun tidak mengikuti prinsip, metode, maupun etika ilmiah yang sebenarnya. Ciri utamanya adalah klaim tersebut tidak dapat diuji secara empiris (non-falsifiable), menggunakan anekdot sebagai bukti utama, resisten terhadap perubahan walau sudah terbukti salah, serta sering kali hanya memanfaatkan istilah-istilah teknis untuk terlihat ilmiah (Lilienfeld et al., 2015). Tak hanya itu, pseudosains juga kerap kali mengemas dirinya dengan istilah "energi bawah sadar" atau "frekuensi otak". Meskipun demikian, pseudosains sama sekali tidak menyediakan data kuantitatif yang dapat direplikasi dalam jurnal peerreviewed.

Dari beberapa penjelasan di atas, dampak pseudosains tentunya dapat sangat merugikan masyarakat, karena pseudosains bisa menjerumuskan individu ke dalam kerugian ekonomi (misal tes grafologi, membayar jasa tarot reading, dan lain-lain), penurunan kesehatan yang diakibatkan stress berlebih karena terlalu percaya dengan pseudosains (misalnya dari zodiak harian, hari ini akan mendapat bencana besar), konflik sosial, serta penolakan terhadap sains yang seharusnya menjadi fondasi berpikir kritis. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan literasi digital dan ilmiah di seluruh kalangan masyarakat, terutama mahasiswa psikologi untuk mengenali, mengkritisi, dan meluruskan misinformasi tersebut.

Contoh Pseudosains dalam Psikologi

Pseudosains dalam psikologi hadir dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya bahkan sangat populer di masyarakat, termasuk di media sosial seperti:

1. Grafologi (Analisis Tulisan Tangan)

Grafologi mengklaim bahwa kepribadian seseorang dapat diungkap melalui analisis gaya tulisan tangan mereka. Namun, penelitian ilmiah tidak mendukung klaim ini. Geoffrey Dean, dalam sebuah meta-analisis terhadap sekitar 200 studi, menemukan bahwa para grafologi tidak mampu memprediksi kepribadian atau kinerja kerja lebih baik daripada tebakan secara acak. Selain itu, tidak ada korelasi yang signifikan antara karakteristik tulisan tangan dan atribut psikologis individu. Bahkan, British Psychological Society menyamakan grafologi dengan astrologi dan memberikan keduanya "validitas nol". Dengan demikian, grafologi dianggap sebagai pseudosains karena kurangnya dasar empiris yang kuat.

2. Astrologi atau Zodiak

Astrologi berpendapat bahwa posisi planet dan bintang saat kelahiran seseorang memengaruhi kepribadian dan nasib mereka. Meskipun banyak orang merasa deskripsi zodiak mereka akurat, fenomena ini dapat dijelaskan oleh Barnum Effect. Barnum Effect adalah kecenderungan individu untuk menganggap deskripsi umum sebagai sangat personal dan akurat, padahal deskripsi tersebut dapat berlaku untuk banyak orang. Studi oleh Lilienfeld et al. (2015) juga menyoroti bahwa astrologi tidak memiliki dasar ilmiah yang valid dan termasuk dalam kategori pseudosains. Dengan demikian, astrologi lebih didasarkan pada kepercayaan daripada bukti empiris.

3. Tes Kepribadian Berdasarkan Warna Favorit

Tes-tes yang mengklaim dapat mengungkap kepribadian seseorang berdasarkan warna favoritnya sering kali beredar di internet. Namun, klaim tersebut tidak didukung oleh dasar ilmiah atau psikometrik yang kuat. Studi menunjukkan bahwa preferensi warna tidak memiliki korelasi yang konsisten dengan ciri-ciri kepribadian individu. Tes semacam ini juga tidak memiliki validitas maupun reliabilitas yang dapat diukur secara ilmiah. Oleh karena itu, tes kepribadian berdasarkan warna favorit dianggap sebagai bentuk hiburan semata, bukan alat diagnostik yang sahih.

4. Terapi Kristal dan Energi Aura

Terapi kristal mengklaim bahwa batu-batu tertentu memiliki energi penyembuhan yang dapat memperbaiki kondisi fisik dan mental seseorang. Namun, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim ini. Penelitian menunjukkan bahwa efek yang dirasakan oleh individu saat menggunakan kristal kemungkinan besar disebabkan oleh efek plasebo. Artinya, keyakinan seseorang terhadap efektivitas kristal dapat memengaruhi persepsi mereka terhadap manfaatnya, meskipun tidak ada mekanisme biologis yang mendasarinya. Dengan demikian, terapi kristal dianggap sebagai pseudosains karena kurangnya bukti empiris yang mendukung klaimnya.

5. Penggunaan Kartu Tarot

Kartu tarot sering digunakan untuk "membaca" kondisi emosional atau mental seseorang. Namun, tarot tidak didasarkan pada data empiris atau proses diagnostik yang sahih. Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kartu tarot dapat secara akurat mendiagnosis kondisi psikologis seseorang. Studi oleh Lilienfeld et al. (2015) menekankan bahwa penggunaan tarot dalam konteks psikologis tidak memiliki dasar ilmiah dan termasuk dalam kategori pseudosains. Oleh karena itu, kartu tarot tidak dapat menggantikan evaluasi dari profesional kesehatan mental yang terlatih.

Mengapa Pseudosains Populer di Kalangan Masyarakat?

Pseudosains menjadi populer di kalangan masyarakat karena kombinasi beberapa faktor diantaranya, psikologis, sosial budaya, dan kognitif yang saling berkaitan. Salah satu alasan utamanya adalah kemudahan dalam pemahaman. Pseudosains cenderung disampaikan dalam bahasa yang sederhana dengan narasi yang emosional dan menarik, sehingga lebih mudah dipahami dibandingkan penjelasan ilmiah yang cenderung kompleks dengan metodologi yang sistematis. Selain itu, manusia secara alami mencari kepastian dan kontrol, sehingga pseudosains menawarkan ilusi seolah segala sesuatu dapat diprediksi dan dikendalikan (Shermer, 2002). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun