Mohon tunggu...
Rafli Marwan
Rafli Marwan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bahasa, sastra, dan Budaya

"Seorang Penulis dapat melihat segi-segi lain yang umum tidak mampu melihat (Pramoedya)"

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Bumi Manusia: Nyai Ontosoroh Lemah

16 Agustus 2019   21:16 Diperbarui: 16 Agustus 2019   21:54 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film Bumi Manusia tayang perdana pada kamis (15/8/2019). Saya tidak melewati kesempatan ini. Pukul 19.00 saya sudah menuju ke Bioskop memesan tiket meskipun waktu tayang pukul 21.00 WIB.

Yang ada dalam pikiran saya ketika menonton film Bumi Manusia adalah sebuah pertanyaan: bagaimana sosok dan karakter tokoh. Tentu penasaran, apalagi novel Bumi Manusia sudah berulang kali baca.

Setelah melewati durasi tiga jam penayangan, saya menemukan hal menarik dari berbagai perspektif setiap tokoh beserta karakternya. Tetapi, pada tulisan ini saya tertarik membahas Nyai Ontosoroh dari segi "transformasi"

Transformasi dimaknai sebagai perubahan rupa: bentuk, sifat, dan fungsi (KBBI). Pembahasan tranformasi sering muncul dalam kajian sastra feminis. Tranformasi menandai kebangkitan perempuan dari ketertindasan menuju perlawanan. Perempuan yang dulunya lemah dan kolot, berubah menjadi cerdas dan kuat. Itulah transformasi.

Nyai Ontosoroh sebagai Sanikem

Dalam novel Bumi Manusia, kita tahu, Nyai Ontosoroh dahulunya bernama Sanikem. Nama Sanikem merupakan penjelmaan perempuan Jawa yang terkurung dalam tradisi dan norma sosial. Pertama, dia tidak bisa keluar rumah tanpa seizin Satrotomo, ayahnya. Kedua, dia tidak memiliki hak menentukan laki-laki untuk mengawininya. Dalam hidup, Sanikem tidak memiliki kehendak apapun termasuk kehendak atas dirinya. Semuanya diatur orang tuanya. Fase ini adalah fase marjinalisasi, inferioritas, dan subordinasi yang diterima oleh Sanikem.

Transformasi Nyai Ontosoroh

Transformasi muncul ketika Sanikem dipaksa kawin dengan Herman Mellema oleh Ayahnya karena nafsu jabatan. Perkawinan ini kemudian nama Sanikem berubah menjadi Nyai Ontosoroh. Menyandang nama "nyai" tentu bukan harapan hidup yang baik. Karena dalam sejarah status seorang "nyai" adalah perempuan gundik yang dipelihara oleh pejabat atau majikan Belanda sebagai pelampiasan nafsu tanpa perkawinan sah. Karena tidak sah, seorang nyai akan ditinggalkan kapan saja setelah majikan merasa puas. Sifat dan karakter "nyai" sebagai gundik adalah kolot, kotor, bodoh, dan pasrah. Tetapi, Nyai Ontosoroh justru menerobos semua itu melalui tranformasinya. Tranformasi Nyai adalah pertama, cara berpakain dan berhias ala eropa. kedua, menjunjung tinggi pengetahuan melalui bacaan dan menulis bahasa Belanda. Ketiga memperteguh sikap kemandirian, keberanian dan kepribadian yang tegas. Satu hal yang tidak dilupakan adalah meskipun Nyai Ontosoroh  menjelma sebagai perempuan modern ala eropa tetapi tidak pernah melupakan asal usulnya sebagai pribumi. Dari Sanikem yang kolot, kotor, serba menerima, bertransformasi menjadi Nyai Ontosoroh yang cerdas, bersih dan rapi, dan berkepribadian keras dan berani.

Nyai Ontosoroh dalam Film

Lalu bagaimana dengan Nyai Onstoroh dalam film Bumi Manusia. Dalam film, Nyai Ontosoroh muncul pertama dalam adegan ketika menyalami Minke di rumah Buitenzorg. Di sini status dan posisi Nyai sudah bertransformasi. Dia bukan lagi Sanikem, melainkan perempuan cerdas dalam mengatur perusahaan dan berkepribadian tegas dalam berkomunikasi.

Pada adegan itu, Nyai memperlihatkan sikap "dinginnya" menemui Minke. Tetapi pada adegan lain, tranformasi Nyai justru tidak tampak tegas dan kuat. Misalnya adegan ketika Nyai memerintahkan  anaknya, Robbert Mellema menyelidiki sebab Minke dijemput polisi,  Nyai justru "menangis". Padahal sikap Nyai tidaklah demikian. Nyai tidak pernah menangis dan tidak pernah menyesal berhadapan dengan perilaku anaknya yang tidak mengakuinya sebagai ibu lantaran berdarah pribumi. selain itu, ketegasan dan kekuatan Nyai tidak  terlihat sebagai perempuan intelektual. Nyai begitu lunak, bahkan pasrah dalam melawan. Perlawanan Nyai hanya terlihat ketika berhadapan dengan pengadilan Belanda. Di sini Nyai begitu tegas dalam mempertahankan haknya.  

Tranformasi lain adalah Nyai berikan kebebasan pada Annelies. Dalam film, kita menyaksikan adegan seksualitas antara Annelies dan Minke. Minke dengan sengaja mencium Annelies di sela percakapan mereka di halaman perkebunan. Setelah mengetahui itu, Nyai Onstosoroh menyuruh Minke mencium Annelies di depannya. Bahkan lebih ekstrim membebaskan mereka di atas ranjang. Semalam, di bioskop, ketika muncul adegan itu penonton bersorak riuh, ada yang bilang tak etis karena megizinkan anak melakukan seksual di luar nikah, ada pula yang bilang itu hanya film. Padahal jika melihat latar belakang, Nyai hanya ingin melihat Annelies bahagia. Ingin melihat Annelies memilih lelaki sendiri sesuai perasaan cintanya. Sebagai orang tua, Nyai tidak ingin anaknya mengalami hubungan dan kawin paksa seperti yang dialaminya. Intinya dari pengalaman-lah Nyai belajar untuk menentukan yang baik bagi anaknya. Hal inilah yang tidak hadirkan dalam film sehingga seksualitas yang hadir adalah seksualitas tanpa alasan.

Sekian...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun