Perlindungan korban pelecehan seksual verbal (catcalling) diatur dengan jelas dalam UU TPKS. Pasal 1 angka (18) menjelaskan bahwa perlindungan adalah semua upaya untuk memenuhi hak dan memberikan bantuan agar korban atau saksi merasa aman. Perlindungan ini wajib dilakukan oleh LPSK atau lembaga lain sesuai peraturan yang berlaku. Korban berhak mendapat penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Berdasarkan Pasal 28, korban boleh didampingi oleh pendamping di semua tahap pemeriksaan pengadilan. Pendamping yang dimaksud bisa dari petugas LPSK, petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, psikiater, pendamping hukum seperti advokat dan paralegal, petugas lembaga layanan masyarakat, maupun pendamping lainnya.
Pasal 39 ayat (1) mengatur bahwa korban atau siapa saja yang mengetahui, melihat, atau menyaksikan pelecehan seksual verbal (catcalling) dapat melaporkannya ke UPTD PPA, unit pelaksana teknis sosial, lembaga layanan masyarakat, atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di lokasi kejadian. Pasal 42 menjelaskan bahwa dalam waktu maksimal 1x24 jam setelah menerima laporan, polisi dapat memberikan perlindungan sementara kepada korban. Perlindungan ini diberikan melalui surat perintah untuk waktu paling lama 14 hari sejak korban ditangani. Untuk keperluan perlindungan, polisi berhak membatasi gerak pelaku, seperti menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, atau membatasi hak-hak tertentu pelaku. Pembatasan ini dituangkan dalam surat perintah perlindungan sementara.
Pasal 44 menyebutkan bahwa dalam memberikan perlindungan, polisi dan LPSK dapat bekerja sama dengan UPTD PPA. Selanjutnya, Pasal 45 mengatur bahwa jika tersangka atau terdakwa tidak ditahan dan ada kekhawatiran akan melakukan kekerasan, intimidasi, atau ancaman kepada korban, maka atas permintaan korban, keluarga, penyidik, jaksa, atau pendamping, hakim dapat mengeluarkan penetapan pembatasan gerak pelaku. Pasal 66 ayat (1) menegaskan bahwa korban berhak mendapat penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Pasal 67 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan. Pemenuhan hak korban adalah kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai kondisi dan kebutuhan korban.
Pasal 68 merinci hak korban atas penanganan, yaitu hak mendapat informasi tentang seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan, hak mendapat dokumen hasil penanganan, hak mendapat layanan hukum, hak mendapat penguatan psikologis, hak mendapat pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan, tindakan medis, dan perawatan, hak mendapat layanan dan fasilitas sesuai kebutuhan khusus korban, serta hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual melalui media elektronik.
Berdasarkan penjelasan di atas, korban pelecehan seksual verbal (catcalling) harus mendapat perlindungan dan jaminan keamanan. Korban tidak boleh diperlakukan sebaliknya, yaitu didiskreditkan atau malah dijadikan sebagai pelaku yang menyebarkan berita bohong, penghinaan, atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal, korban adalah kelompok yang paling rentan dalam sistem peradilan pidana. Seringkali keberadaan korban terlupakan, bahkan korban sangat sulit untuk mendapatkan hak-haknya.
Pemerintah seharusnya memberikan rasa aman kepada korban yang berani menyampaikan pengalaman pelecehan verbal yang dialaminya. Korban perlu diberikan saluran yang tepat agar tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum ketika ingin melapor atau mengadu. Lembaga-lembaga terkait harus memberikan perhatian khusus kepada perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual verbal (catcalling) agar mereka berani melaporkan kejadian yang dialaminya.
Dalam UU TPKS, berbagai pihak memiliki kewajiban untuk membantu korban, seperti petugas LPSK, petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, psikiater, pendamping hukum (advokat dan paralegal), petugas lembaga layanan masyarakat, dan pendamping lainnya. Pihak-pihak yang bertanggung jawab tersebut harus membuka layanan pengaduan khusus bagi para korban pelecehan seksual verbal (catcalling).
Penulisan Artikel ini merupakan pemenuhan tugas Klinik Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan dosen pengampu: 1. Dr. Fajar Khaify Rizky S.H., M.HÂ
                                             2.   Dr. Rosmalinda S.H., LLM.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI