PENDAHULUAN
Pelecehan seksual merupakan salah satu tindak pidana yang berbasis gender, yang dimana korban akibat pelecehan seksual berasal dari kaum perempuan dan anak. Kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak meningkat setiap tahun. Hal tersebut menjadi perhatian khusus negara. Pelecehan seksual terjadi di ruang publik seperti restoran, transportasi umum, stasiun, hingga dalam ruang lingkup yang lebih sempit seperti keluarga.
Pelecehan seksual tidak selalu terjadi melalui kontak fisik namun, pelecehan seksual juga dapat terjadi secara non-fisik (verbal). Bentuknya juga beragam, mulai dari catcalling seperti menggoda atau meneriaki perempuan dengan kata-kata yang bersifat seksual hingga bersiul kepada korban. Berdasarkan data Komnas Perempuan tercatat lebih dari 20 % laporan kekerasan terhadap perempuan di ruang publik merupakan pelecehan seksual non-fisik (verbal). Angka ini menjadi indikasi bahwa catcalling bukan hanya sekedar perilaku yang tidak sopan, melainkan telah menjadi persoalan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Karena situasi ini, maka dibuatlah undang-undang khusus untuk menghapus kekerasan seksual dan melindungi korban, yaitu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). RUU TPKS diperlukan untuk dua hal penting. Pertama, agar korban bisa mendapat keadilan dan perlindungan, serta memberikan dasar hukum yang jelas bagi polisi dan jaksa untuk menindak pelaku. Kedua, RUU ini juga mengatur pemisahan antara masalah publik dan masalah privat.
RUU TPKS kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (disingkat UU TPKS) pada tanggal 9 Mei 2022. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menekankan bahwa selain keluarga, peran serta masyarakat dalam mencegah kekerasan seksual juga sangat penting, sebagaimana telah diatur dalam UU TPKS. Akan tetapi, masyarakat masih belum mengenal dan memahami UU TPKS, terutama yang berhubungan dengan pelecehan verbal (catcalling). Banyak masyarakat menganggap perbuatan ini bukan tindak pidana. Kurangnya pemahaman hukum masyarakat tentang hal ini menyebabkan korban dan perempuan belum sepenuhnya berani melapor ke pihak berwajib ketika mengalami pelecehan seksual secara verbal (catcalling)
Pelecehan Seksual Secara Verbal (Catcalling) Dalam Undang- Undang No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Dalam UU TPKS sudah memberikan definsi yang lengkap mengenai pelecehan secara verbal (catcalling) atau non fisik, Pasal 1 angka 1 “Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.” Selanjutnya Pasal 4 ayat (1) Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik;c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.
Dalam Pasal 5 UU TPKS “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorarng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah).” Dalam penjelasan Pasal 5 yaitu Yang dimaksud dengan “perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.
Menurut Taufan Abadi SH.,MH seorang pakar hukum Universitas Mataram , pelecehan verbal (catcalling) adalah perbuatan yang menggunakan kata-kata tidak sopan, ungkapan lisan, maupun gerak tubuh dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan seseorang. Bentuknya bermacam-macam, seperti suara kecupan, ciuman dari jauh, atau siulan. Bisa juga berupa komentar tentang bentuk tubuh, atau kalimat yang melecehkan seperti "cantik" atau salam yang bernada menggoda. Ada juga pelaku yang secara terang-terangan mengatakan hal-hal vulgar kepada korban. Termasuk juga tatapan mata yang berlebihan sehingga membuat orang yang dipandang merasa tidak nyaman.
Berdasarkan penjelasan di atas, menyimpulkan bahwa pelecehan verbal (catcalling) adalah tindakan seseorang yang secara lisan membuat orang lain merasa tidak nyaman. Pelaku melakukan perbuatan ini dengan sadar dan sengaja untuk melecehkan perempuan atau orang tertentu.
Perlindungan Hukum Korban Catcalling Dalam Undang-Undang No 12 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Perlindungan korban pelecehan seksual verbal (catcalling) diatur dengan jelas dalam UU TPKS. Pasal 1 angka (18) menjelaskan bahwa perlindungan adalah semua upaya untuk memenuhi hak dan memberikan bantuan agar korban atau saksi merasa aman. Perlindungan ini wajib dilakukan oleh LPSK atau lembaga lain sesuai peraturan yang berlaku. Korban berhak mendapat penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Berdasarkan Pasal 28, korban boleh didampingi oleh pendamping di semua tahap pemeriksaan pengadilan. Pendamping yang dimaksud bisa dari petugas LPSK, petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, psikiater, pendamping hukum seperti advokat dan paralegal, petugas lembaga layanan masyarakat, maupun pendamping lainnya.
Pasal 39 ayat (1) mengatur bahwa korban atau siapa saja yang mengetahui, melihat, atau menyaksikan pelecehan seksual verbal (catcalling) dapat melaporkannya ke UPTD PPA, unit pelaksana teknis sosial, lembaga layanan masyarakat, atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di lokasi kejadian. Pasal 42 menjelaskan bahwa dalam waktu maksimal 1x24 jam setelah menerima laporan, polisi dapat memberikan perlindungan sementara kepada korban. Perlindungan ini diberikan melalui surat perintah untuk waktu paling lama 14 hari sejak korban ditangani. Untuk keperluan perlindungan, polisi berhak membatasi gerak pelaku, seperti menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, atau membatasi hak-hak tertentu pelaku. Pembatasan ini dituangkan dalam surat perintah perlindungan sementara.
Pasal 44 menyebutkan bahwa dalam memberikan perlindungan, polisi dan LPSK dapat bekerja sama dengan UPTD PPA. Selanjutnya, Pasal 45 mengatur bahwa jika tersangka atau terdakwa tidak ditahan dan ada kekhawatiran akan melakukan kekerasan, intimidasi, atau ancaman kepada korban, maka atas permintaan korban, keluarga, penyidik, jaksa, atau pendamping, hakim dapat mengeluarkan penetapan pembatasan gerak pelaku. Pasal 66 ayat (1) menegaskan bahwa korban berhak mendapat penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Pasal 67 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan. Pemenuhan hak korban adalah kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai kondisi dan kebutuhan korban.
Pasal 68 merinci hak korban atas penanganan, yaitu hak mendapat informasi tentang seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan, hak mendapat dokumen hasil penanganan, hak mendapat layanan hukum, hak mendapat penguatan psikologis, hak mendapat pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan, tindakan medis, dan perawatan, hak mendapat layanan dan fasilitas sesuai kebutuhan khusus korban, serta hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual melalui media elektronik.
Berdasarkan penjelasan di atas, korban pelecehan seksual verbal (catcalling) harus mendapat perlindungan dan jaminan keamanan. Korban tidak boleh diperlakukan sebaliknya, yaitu didiskreditkan atau malah dijadikan sebagai pelaku yang menyebarkan berita bohong, penghinaan, atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal, korban adalah kelompok yang paling rentan dalam sistem peradilan pidana. Seringkali keberadaan korban terlupakan, bahkan korban sangat sulit untuk mendapatkan hak-haknya.
Pemerintah seharusnya memberikan rasa aman kepada korban yang berani menyampaikan pengalaman pelecehan verbal yang dialaminya. Korban perlu diberikan saluran yang tepat agar tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum ketika ingin melapor atau mengadu. Lembaga-lembaga terkait harus memberikan perhatian khusus kepada perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual verbal (catcalling) agar mereka berani melaporkan kejadian yang dialaminya.
Dalam UU TPKS, berbagai pihak memiliki kewajiban untuk membantu korban, seperti petugas LPSK, petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, psikiater, pendamping hukum (advokat dan paralegal), petugas lembaga layanan masyarakat, dan pendamping lainnya. Pihak-pihak yang bertanggung jawab tersebut harus membuka layanan pengaduan khusus bagi para korban pelecehan seksual verbal (catcalling).
Penulisan Artikel ini merupakan pemenuhan tugas Klinik Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan dosen pengampu: 1. Dr. Fajar Khaify Rizky S.H., M.H
2. Dr. Rosmalinda S.H., LLM.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI