Di era media sosial, di mana eksistensi diukur dari engagement rate dan validasi digital, orang seperti Rangga pasti dianggap aneh. Ia tidak punya keinginan tampil. Tidak pandai menyusun citra. Dunia sekarang memaksa setiap orang untuk selalu terlihat, sementara Rangga hidup dengan keyakinan bahwa makna justru lahir dari hal-hal yang tak ditampilkan.
Bahkan secara ekonomi, kita hidup di masa yang memperlebar jurang antara yang punya panggung dan yang tenggelam. Banyak anak muda hari ini meski berpendidikan tapi merasa tidak cukup kompetitif untuk bersaing di pasar kerja, merasa kecil di hadapan standar kesuksesan yang dibangun algoritma. Dalam makna itu, Rangga menjadi cerminan kelelahan kolektif. Ia simbol dari generasi yang ingin berjalan pelan di tengah dunia yang menuntut lari.
Krisis Maskulinitas yang Lembut
Ada satu hal lain yang menarik dari Rangga dan Cinta, bagaimana cara film ini menampilkan Rangga sebagai sosok laki-laki yang lembut, bahkan rapuh. Kalau versi Nicholas Saputra dulu masih menyisakan aura dingin dan dominan khas archetype pria pendiam tapi kuat, maka versi El Putra justru berani menunjukkan kecanggungan dan ketidakpastian.
Di sini, Riri Riza seolah ingin menantang definisi maskulinitas yang kaku. Rangga baru tidak malu untuk terlihat ragu. Ia tidak selalu tahu harus bilang apa, tapi ia belajar mendengar. Dalam satu adegan musikal, keheningan Rangga diterjemahkan ke lagu lirih yang tak heroik sama sekali, melainkan penuh kegugupan.
Ini menarik, karena sejalan dengan pergeseran sosial hari ini dimana banyak laki-laki muda yang kehilangan pegangan tentang "bagaimana seharusnya menjadi lelaki." Dunia yang menuntut kepekaan sekaligus keberanian seringkali membuat mereka bingung. Mereka tidak ingin jadi macho, tapi juga tidak tahu bagaimana menunjukkan perasaan tanpa dianggap lemah.
Rangga adalah figur transisi itu. Ia menunjukkan bahwa menjadi laki-laki tidak selalu berarti menguasai ruang, kadang cukup dengan keberanian untuk tidak menyembunyikan luka. Ia lembut, tapi tidak pasif. Ia takut, tapi tetap hadir. Dan mungkin, itu bentuk kelelakian yang lebih jujur di masa kini.
Alienasi yang Tak Pernah Usai
Kalau diperhatikan, bahkan setelah dua dekade, AADC masih berkutat pada tema yang sama, jarak. Hanya saja, kalau dulu jarak itu fisik antara Jakarta dan New York, sekolah elit dan rumah sederhana, kali ini jarak itu menjadi emosional dan eksistensial.
Kita hidup di zaman di mana semua orang saling terhubung, tapi jarang benar-benar bertemu. Kita bisa tahu isi kepala seseorang dari unggahannya, tapi tak tahu isi hatinya. Dalam dunia seperti ini, sosok Rangga terasa makin relevan, ia yang memilih menulis puisi di buku, bukan di caption Instagram. Ia yang lebih suka membaca tanda di wajah manusia ketimbang notifikasi layar.
Kadang dunia terlalu keras untuk mereka yang lembut. Tapi mungkin, justru orang-orang lembut itulah yang menjaga dunia tetap manusiawi.